Sunday, September 03, 2006
Sambutan Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ
dalam
Pertemuan Tahunan Forum Pendamping Buruh Nasional IV
(Cibodas, 26 Februari 2002)
I. Dasar Pemahaman dan Penghayatan Iman
1. Karya penebusan Yesus yang diwartakan Gerja sebagai Kabar Gembira, adalah karya Allah yang menyatukan kembali segala-galanya yang tercerai-berai oleh dosa. Itu berarti memulihkan Tri Relasi Pokok: hubungan antara Allah dan Manusia, antara Manusia dengan Manusia dan antara Manusia dengan Lingkungan hidupnya. Dosa pada dasarnya adalah rusaknya relasi harmonis antara manusia dengan Allah, karena sebagai makhluk tidak taat kepada kehendak Khaliknya. Demikian pula rusaknya relasi harmonis antar sesama, karena tidak saling menghargai dan mencintai sebagai sesamanya. Relasi harmonis dengan Allah dan dengan sesama rusak karena relasi antara manusia dengan barang-barang duniawi ini diutamakan sehingga relasinya dengan Allah dan sesama justru ditentukan oleh relasinya dengan barang-barang duniawi. Dalam bidang ekonomi dan usaha, masalah pokok adalah relasi antara pemilik modal, modal sendiri, peralatan modern, dan para pekerja.
2. Pulihnya hubungan antar kita manusia kerap kita sebut dengan nama ‘persaudaraan sejati’. Bersama dan bersatu dengan Yesus yang menyatukan hidupNya dengan kita waktu kita dibaptis, kita diangkat menjadi saudara Yesus dan anak-anak Bapa di surga. Begitu tinggi martabat kita sebagai manusia dijunjung tinggi dan dihargai oleh Allah. Sehingga antar kita, hidup di dunia ini selayaknya ditandai oleh ‘persaudaraan dalam kesetaraan martabat, sehingga persaudaraannya tidak mengenal perbedaan. Semangat persaudaraan sejati seperti itu seharusnya mempengaruhi dinamika hidup bersama, sehingga ada “kepedulian sosial” yang kuat dan melahirkan “keadilan sosial” atau “kesejahteraan umum yang merata. Hasil pengolahan alam, bumi dan lautan serta semua hasil kerja manusia menjadi kesejahteraan demi perkembangan utuh masing-masing secara adil dan merata.
3. Inilah pokok Kabar Gembira yang telah kita terima sebagai Gereja dan kita ikut memperjuangkan agar terlaksana di tengah kita. Dengan cara demikian itulah kita bekerja sambil menyucikan dunia kerja manusia, karena berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah dan memanfaatkan hasil kerja tersebut dalam semangat persaudaraan sejati menuju ke kesejahteraan bersama di dunia ini. “Sebab pria dan wanita, yang – sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka – melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah.” (GS 34 dikutip LE 25). Kita semua menyucikan dunia kerja, kalau kita bekerja dengan prinsip “bahwa melalui kerja manusia berperan serta untuk bekerja di pelbagai sektor.” (LE 25).
Persaudaran sejati yang mencakup kepedulian dan kasih kepada anak-cucu di generasi yang selanjutnya mengakibatkan cara pemanfaatan alam lingkungan hidup kita sedemikian rupa sehingga tidak merusak, melainkan melestarikan kekayaan alam tersebut, syukur bahkan mengembangkannya. Demikian tadi cara ber-relasi dengan lingkungan hidup sesuai dengan kehendak Allah.
4. Menyucikan dunia kerja tidak cukup hanya dengan motivasi ‘turut serta dalam karya penciptaan Allah dan mempersembahkan hasil kerja untuk berbakti dan mengasihi sesama. Masih ada 2 bidang lain lagi yang harus disucikan, yaitu memperbaiki semangat umum masyarakat dan tatanan hidup kemasyarakatan, termasuk tatanan di dunia kerja ini. Dalam kenyataan hidup di sekitar kita, dosa masih menguasai semangat hidup orang bahkan begitu jauh mempengaruhi tatanan hidup, sehingga melahirkan tatanan hidup yang tidak adil. Termasuk yang menjadi korban adalah para pekerja buruh pabrik. Dengan demikian ‘persaudaraan sejati’ atau ‘persaudaraan dalam kesetaraan martabat’ masih jauh dari kenyataan, demikian pula keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata. Untuk itu kita masih harus berjuang keras.
II. Masalahnya.
5. Paus Yohanes Paulus menulis: “Pada zaman modern, sejak awal masa industri, kebenaran kristiani tentang kerja harus menentang pelbagai arus pemikiran materialistis dan ekonomistis.” Bagi mereka yang berfaham materialistis dan ekonomistis “kerja dimengerti dan diperlakukan bagaikan semacam ‘barang dagangan’, yang oleh pekerja khususnya buruh industri – dijual kepada majikan, yang sekaligus pemilik modal, artinya seluruh perangkat peralatan dan upaya-upaya yang memungkinkan produksi” (LE 7). Ini akhirnya menimbulkan situasi ketidakadilan yang melanda dunia perburuhan, sehingga siapa menjadi pekerja buruh pabrik berarti meski bekerja keras membanting tulang tak akan cukup hasilnya untuk menghidupi anak isteri, sedangkan para pemilik modal atau mereka yang berada di posisi management tentu akan mendapat gaji yang berlipat ganda dibandingkan dengan upah buruh.
6. Akibat adanya dosa, persaudaraan tidak berlaku. Pada umumnya kita menemukan prinsip ini: yang berbeda dipertentangkan. Masing-masing bersaing untuk kepentingan sendiri. Dalam bidang ekonomi dan usaha, masalah pokok adalah relasi antara pemilik modal, modal sendiri, peralatan modern, dan para pekerja. Dalam pertarungan itu, pekerja tidak hanya kalah dihadapan modal dan peralatan modern, bahkan jasanya dihargai sesuai dengan tuntutan pasaran. Ajaran Sosial Gereja telah menggariskan bahwa gaji seharusnya adalah gaji keluarga, dan diperhitungkan cukup untuk membiayai kebutuhan selayaknya orang hidup dan berkembang. Tetapi sistim ini belum berlaku di lingkungan perburuhan, karena para pekerja masih dipandang sebagai ‘sumber daya’, sebagai ‘tenaga kerja’ dan dihargai menurut hasil kerja. Maka pekerja belum diperlakukan sebagai subjek pelaku usaha, yang harus secara adil menerima hasil usaha, karena dia juga sekaligus menjadi tujuan setiap usaha manusia.
7. Demikian pula kesetaraan martabat sulit terjadi. Meskipun kita diciptakan setara, pria dan wanita namun ada masalah jender. Demikian pula perbedaan yang berdasarkan status atau fungsi sosial: seperti kaya-miskin, berpangkat tinggi atau rendah, menumbuhkan perbedaan perlakuan terhadap mereka. Maka hilanglah sikap saling menghormati, saling memberi tempat dan saling mempedulikan sebagai layaknya saudara. Dalam hidup bersama penting ada fungsi yang berbeda. Kita hargai, kita jaga dan dukung agar fungsi berjalan semestinya. Yang memimpin biarlah memimpin, yang menasehati hendaknya menasehati. Yang melayani di bidang pengadilan, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan penegakan hukum, hendaknya menjalankan fungsi masing-masing, tetapi tidak usah harus yang satu melebihkan diri dari yang lain seakan-akan martabatnya juga melebihi yang lain.
III. Pemecahan Masalah
8. Dalam rangka menyucikan dan memperbaiki tatanan dunia kerja, membangun solidaritas kaum buruh dan memperjuangkan upah yang adil merupakan salah satu upaya yang baik dan perlu didukung. Perjuangan itu benar dan tetap pada relnya, kalau perjuangan tersebut tetap diletakkan pada dasar ini: berjuang demi terciptanya ‘persaudaraan sejati’, sebagai persaudaraan berdasar kesetaraan martabat dan demi terciptanya keadilan sosial. Perjuangan itu keluar dari relnya kalau diusahakan untuk menyusun kekuatan untuk ganti mengalahkan yang lain.
9. Untuk menciptakan persaudaraan sejati, perlu ada usaha meningkatkan persaudaraan dalam kesetaraan martabat, yang berarti meningkatkan keadilan sosial. Untuk itu perlu diperhatikan prinsip ini. Siapa pun yang kebetulan karena sesuatu mempunyai kekuatan lebih dan kemampuan lebih harus bersikap melindungi dan memberdayakan yang masih lemah dan kurang mampu. Yang kaya melindungi dan membantu yang miskin, yang berkuasa melindungi dan membantu mereka yang tak berdaya. Yang pandai dan berpengalaman melindungi dan membantu kaum buruhnya. Peristiwa Yesus menyelamatkan dan menebus kita juga dalam garis ini: Allah yang maha kuasa membantu kita manusia yang lemah dan berdosa.
10. Karena yang diperjuangkan adalah persaudaraan sejati, menjadi jelas mengapa perjuangansemangat kasih, hormat kepada pribadi, sehingga menolak cara-cara kekerasan. Perbedaan kepentingan perlu di dialogkan. Tetapi karena pihak pekerja ada di pihak yang lemah, maka perlu ada yang memfasilitasi agar dialog penuh hormat dan saling percaya dapat terjadi dalam suasana kasih. Fasilitator itu adalah mereka yang menjadi pendamping para usahawan bersama anda para pendamping kaum buruh. Yang perlu dijaga oleh para fasilitator adalah jangan sampai majikan dan buruh saling berhadapan dalam arti saling berlawanan dan masing-masing memperjuangkan kepentingannya sendiri dengan mengadu kekuatan masing-masing.