Thursday, August 28, 2008

Informalisasi Ketenagakerjaan: Antara Definisi, Segmentasi, dan Flexicurity

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 8, Sept '07 - Maret '08

Informalisasi Ketenagakerjaan:

Antara Definisi, Segmentasi, dan Flexicurity

George Martin Sirait

(Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat

Unika Atma Jaya Jakarta)

Dalam sebuah pertemuan konsultasi publik tingkat nasional soal akses kepada keadilan, diskusi alot terjadi di kelompok kecil yang membahas tema ketenagakerjaan. Kealotan tersebut merebak tatkala hendak merumuskan isu mana dalam ketenagakerjaan yang perlu diprioritaskan untuk intervensi soal akses kepada keadilan. Pihak pemerintah menganggap pekerja di sektor informal adalah kelompok yang harus diprioritaskan karena jumlahnya sangat besar. Sementara peserta yang berasal dari unsur buruh, praktisi, dan akademisi menganggap bahwa informalisasi pekerjaan, dalam wujud sistem kontrak atau outsourcing, perlu juga dimasukkan dalam agenda. Diskusi memanas karena pihak pemerintah bersikukuh untuk tidak memasukkan isu pekerja kontrak dengan alasan bahwa hal tersebut sudah diatur dalam regulasi yang berlaku. Pekerja di sektor informal, tambahnya, belum dilindungi oleh aturan yang ada. Sementara perwakilan buruh menegaskan bahwa kenyataannya pekerja kontrak tidak dilindungi oleh hukum (atau dalam istilah yang digunakan dalam tema edisi ini sebagai “informalisasi ketenagakerjaan”).

Masing-masing tentu mengandung argumentasi yang kuat dan sahih. Proporsi pekerja di sektor informal memang sangat besar dan menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Menurut data BPS jumlah pekerja informal pada tahun 1990 sekitar 63,4 persen dari total angkatan kerja dan terus meningkat menjadi 69,75 persen di 2006. Dengan kata lain proporsi pekerja di sektor formal, apalagi industri memang relatif sedikit. Di lain pihak data agregat (nasional) pekerja kontrak tidak tersedia. Sekalipun demikian, baik di kalangan pengusaha maupun pemerintah umum diterima kenyataan bahwa setelah krisis 1997/98, ada kecenderungan kuat jumlah pekerja kontrak meningkat.

Hal ini semakin mempertegas berlanjutnya perbedaan cara pandang tentang agenda ketenagakerjaan di negeri ini antara buruh di satu pihak dengan pemerintah di lain sisi. Pemerintah cenderung (hanya) mengandalkan data makro sebagai basis pembuatan keputusan. Sementara buruh kerap melandaskan argumentasinya pada data-data mikro. Perbedaan ini juga membantu menjelaskan mengapa studi-studi tentang status hubungan kerja kontrak—sekali pun seringkali berskala kecil, sektoral dan kasuistik—justru lebih banyak diinisiasi oleh kalangan buruh atau organisasi non-pemerintah yang menaruh perhatian pada isu perburuhan. Pada level tertentu hal ini membuat situasi ketenagakerjaan gagal dipahami secara utuh. Salah satu contoh kegagalan ini, misalnya, tercermin pada data tentang upah minimum. Menurut data makro, sejak pertengahan tahun 1990-an tingkat rata-rata upah minimum nominal naik terus secara signifikan, yakni dari sekitar di bawah 200 ribuan per bulan pada 1995 menjadi sekitar 1 juta rupiah pada 2007. Serta merta angka ini bisa diartikan sebagai meningkatnya kesejahteraan buruh secara keseluruhan. Namun bila dicek sampai pada level individu, data makro tersebut berbicara lain. Di tingkat ini, kesejahteraan buruh tenyata cenderung stagnan, bahkan sebagian malah makin miskin. Nah, guna mensiasati kegagalan ini, Sangheon Lee mengusulkan agar data makro lebih banyak lagi dilengkapi dengan data mikro yang menggambarkan kenyataan di tingkat individual[1].

Persoalan Definisi

Ketidak-nyambung-an di wilayah praksis, sebagian disebabkan oleh perbedaan bahasa dan pengertian yang digunakan oleh para pihak pada tataran konseptual. Hal ini bisa dilacak, salah satunya dari definisi atau kategorisasi status pekerjaan (employment status), termasuk di dalamnya soal definisi dan ukuran-ukuran ”pekerja kontrak atau outsourcing”, sebuah istilah yang makin populer di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Memang persolan ini tidak khas Indonesia. Negara lain, seperti Korea Selatan, sekalipun belum mencapai konsensus tentang definisi ini. Masalahnya, perbedaan dalam definisi akan melahirkan pula perbedaan dalam estimasi atau hasil analisis sekalipun menggunakan data yang sama.

Sejak 2001 BPS (Biro Pusat Statistik) memang telah memperluas klasifikasi status hubungan kerja menjadi tujuh kategori, yakni 1) berusaha sendiri, 2) berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap, 3) majikan, 4) buruh/pekerja, 5) pekerja yang tidak dibayar, 6) pekerja bebas di pertanian, dan 7) pekerja bebas di non-pertanian[2]. Akan tetapi, sekalipun ada perubahan dalam kategori tersebut, magnitude problematika “pekerja kontrak” belum terpotret secara memadai dalam survei-surveinya

Sebagai perbandingan, barangkali baik untuk melongok sejenak ke negera tetangga. Sebagaimana dirumuskan oleh Campbell (2007), Australia memiliki tipe-tipe pekerjaan yang bergulir dari sebuah model yang disebut sebagai standard employment (pekerjaan standar[3]). Jenis pekerjaan ini secara garis besar didefinisikan sebagai pekerjaan penuh-waktu, berupah tetap dilengkapi dengan seperangkat tunjangan serta perlindungan atas hak-hak pekerja. Oleh karena itu, standard employment ini menjadi patokan bagi pencapaian sistem hubungan kerja dan standar hidup yang baik di Negeri Kangguru tersebut. Di luar standard employment ada berbagai variasi bentuk non-standard employment (pekerjaan non-standar), dengan karakteristik dasar yakni minimnya hak dan tunjangan kerja serta kurangnya perlindungan dari sistem dan regulasi yang ada.

Di Korea definisi non-regular employment (pekerjaan non-reguler) juga bervariasi dan belum mencapai konsensus. Hal ini mencerminkan pertarungan cara pandang dalam melihat masalah fleksibilitas pasar kerja. Lee dan Yoo (2007) mengulas setidaknya ada dua argumen yang berbeda. Bagi mereka yang menganggap bahwa ekspansi non-regular employment sebagai konsekuensi alamiah dari meningkatnya permintaan akan fleksibilitas dalam pola-pola kerja, baik dari pemberi kerja maupun individu pekerja, mengadopsi perbedaan pengaturan kerja sebagai kriteria untuk mendefinisikan non-regular employment. Sementara pihak lain menilai bahwa pesatnya kenaikan jumlah pekerja non-reguler disebabkan oleh besarnya ketergantungan pengusaha pada fleksibilitas pekerjaan. Makanya, dalam mendefinisikan non-regular employment mereka memasukkan kriteria diskriminasi dalam kondisi kerja maupun perbedaan dalam pengaturan kerja.

Selain terminologi regular dan non-regular employment, Korea juga menggunakan istilah standard dan non-standard employment sebagai dua kategori dalam pekerjaan yang berupah tetap (paid employment). Sedikit berbeda dengan yang di Australia, standard worker didefinisikan sebagai pekerja penuh-waktu, permanen, dan yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan. Sementara non-standard worker didefinisikan sebagai mereka yang memiliki pengaturan pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan standar. Pekerja non standar ini diklasifikan dalam 7 kelompok, yakni contingent worker (kontrak waktu tertentu), part-time worker (bekerja kurang dari 36 jam per minggu), dispatched worker (buruh yang dipekerjakan melalui agen kerja temporer yang dilindungi oleh Law on Dispatch Workers), temporary help worker (sejenis dispatched worker namun tidak dilindungi undang-undang), independent contract (pekerja mandiri, semacam freelance), on-call/daily worker (buruh harian/panggilan) dan tele-worker/home-based worker (pekerja rumahan/jarak jauh).

Apa gerangan pesan dari keruwetan definisi-definisi ini? Perlu pendefinisian baru terhadap jenis-jenis pekerjaan yang bermunculan dan semakin komplek sebagai penyesuaian terhadap turbulensi pasar kerja yang fleksibel.

Segmentasi baru

Sebagai konsekuensi dari dianutnya kebijakan pasar tenaga kerja yang fleksibel, telah dan tengah terjadi fragmentasi dalam jantung pekerjaan formal, yakni dalam wujud—meminjam istilah di Australia dan Korea—pekerjaan non-standar. Jika dilihat secara dualistik, pekerjaan non-standar ini seakan-akan berada di antara yang formal dan informal. Ia masuk wilayah formal karena tergolong pekerjaan yang mendapatkan upah tetap (paid employment). Sementara itu, ia didorong ke wilayah informal karena hak, tunjangan, serta perlindungan hukum yang didapatkannya tidak sama dengan yang dinikmati oleh pekerja formal alias aturan yang ada belum melindungi mereka.

Yang menarik adalah terdapat perbedaan penjelasan mengapa kecenderungan penggunaan pekerja non-standar terus meningkat. Bagi sebagian kalangan, terutama pengusaha, penggunaan pekerja non-standar merupakan konsekuensi logis dari keberadaan regulasi perburuhan yang terlalu protektif dan juga untuk menghindari sistem upah yang berdasarkan senioritas pada pekerja standar. Selain itu, penggunaan pekerja non-standar dianggap sebagai bagian strategi bisnis dalam persaingan pasar. Bahkan sebagian pihak menolak campur tangan pemerintah karena hal tersebut merupakan keputusan bisnis murni dan terjadi secara natural. Ambil contoh, seorang dari kalangan pengusaha industri minyak berpendapat bahwa undang-undang ketenagakerjaan seharusnya mengatur hubungan antara pekerja and pemberi kerja, bukan mengatur bisnis perusahaan. Sebab ”ketika pengusaha minyak dan gas me-outsourcing tenaga kerjanya adalah termasuk bisnis”[4].

Sementara kalangan lain, utamanya buruh, menilai meningkatnya penggunaan pekerja non-standar karena ketergantungan pengusaha yang sedemikian besar terhadap fleksibilitas pekerjaan, yakni untuk menekan biaya tenaga kerja (labor cost) dan menjamin kemudahan untuk melakukan PHK. Selain itu, kalangan buruh curiga berat bahwa strategi ini diambil juga untuk melemahkan gerakan buruh dengan memecah-belah status buruh.

Dulu kerap didengungkan bahwa pengadopsian terhadap kebijakan pasar kerja yang fleksibel adalah formula (sementara) untuk penyesuaian pasar kerja saat krisis ekonomi merebak. Maksudnya, agar dunia bisnis bisa tetap hidup. Namun ternyata sekali pun krisis telah usai, kebijakan ini tetap dipertahankan dengan menggunakan alasan lain, misalnya sebagai kondisi yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya untuk mengurangi kemiskinan. Masalahnya, di antara sekian banyak pilihan variasi fleksibilitas pasar kerja, tekanan sedemikian besar diletakkan pada numerical flexibility (penyesuaian kerja antara lain dengan cara fleksibilitas untuk menghentikan hubungan kerja dan penggunaaan pekerja non-standar) dan wage flexibility (penyesuaian biaya tenaga kerja sesuai dengan kondisi usaha dan kinerja pekerja)[5].

Tidak aneh jika salah satu akibat dari kecenderungan pasar kerja yang makin fleksibel ini adalah merosotnya stabilitas atau keamaman kerja (job security). Lalu, siapakah gerangan yang harus menanggung ”biaya” dari kondisi ini? Sayangnya, data yang spesifik tidak tersedia untuk kasus Indonesia. Yang umum terjadi, penanggungnya terutama adalah perempuan, buruh dengan pendidikan rendah, pekerja muda, dan pekerja-non standar. Untuk kategori yang terakhir ini, di Korea sudah mencapai 36,6 persen dari total pekerjaan berupah tetap pada tahun 2005. Mereka inilah yang mengisi segmentasi baru dalam struktur pasar kerja yang fleksibel. Dalam hal kondisi kerja, mereka ini menjadi sasaran diskriminasi dan dimasukkan dalam pelbagai sistem pengaturan kerja.

Lagi-lagi ambil contoh Korea Selatan. Mempertimbangkan kondisi baru yang terus berkembang ini Presiden Roh Mu-Hyun (2003-2008) menelurkan sebuah kebijakan yang dianggap sebagai salah satu kebijakan ketenagakerjaan terpenting dalam masa pemerintahannya, yakni mengatur proteksi bagi buruh non-standar. Kebijakan tersebut melarang pengusaha untuk menggunakan buruh-buruh non-standar ini secara berlebihan dan melarang diskriminasi terhadap mereka.

Perlu dicatat pula bahwa diskriminasi terhadap buruh non-standar sebenarnya juga dilakukan oleh serikat-serikat buruh sendiri. Umumnya SB/SP konvensional beranggotakan hanya buruh tetap yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan. Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa pengurus SB/SP di sektor migas[6] yang banyak mempekerjakan buruh kontrak/outsourcing, SB/SP perusahaan induk tidak dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan rekan kerja mereka yang dipekerjakan oleh perusahaan kontraktor atau outsourcing, karena terbentur kendala institusional. Kendala institusional tersebut berwujud aturan dalam anggaran dasar atau rumah tangga organisasi masing-masing yang membatasi gerakan SB/SP pada anggotanya saja. Tidak aneh jika hal ini menyebabkan SP pada perusahaan induk seakan membuat sekat bagi kepentingan dan keterlibatan pekerja kontrak atau outsourcing walau sama-sama bekerja di tempat yang sama.

Flexicurity

Sebagaimana telah didiskusikan di atas, bahwa ”informalisasi tenaga kerja” dalam bentuk segementasi buruh non-standar terjadi sebagai konsekuensi dari fleksibilitas pasar kerja yang memberi porsi terlalu besar pada wage flexibility dan numerical flexibility. Berkaitan dengan hal ini, studi-studi terakhir[7] menyimpulkan bahwa pasca-krisis 1997/98 telah terjadi pergeseran dalam isu yang dipermasalahkan oleh buruh. Sebelum krisis, buruh cenderung mengusung isu kesejahteraan, antara lain, soal kenaikan upah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tunjangan. Setelah krisis, isu yang lebih mengemuka adalah soal kepastian kerja (job security). Dalam arti tertentu pergeseran isu ini mencerminkan degradasi terhadap perjuangan kualitas kerja yang lebih baik.

Umum diterima bahwa pekerjaan merupakan jembatan paling ampuh untuk keluar dari kemiskinan. Bagi sebagian pekerja, kini jembatan itu goyah dan terancam ambruk karena keamanan dan kepastian kerja semakin merapuh.

Sejarah mencatat bahwa kalangan buruh pernah melakukan perlawanan sengit terhadap kebijakan dan praktik pasar kerja yang fleksibel dan menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu kelihatannya gerakan buruh mulai bergeser dari sikap menolak sama sekali menjadi menerima dengan beberapa catatan. Pergeseran sikap ini bisa dimaklumi karena buruh berhadapan dengan sikap pemerintah dan pengusaha yang sangat meyakini bahwa penerapan kebijakan pasar kerja yang fleksibel merupakan harga mati.

Sikap menerima-dengan-catatan itu, salah satunya bisa dilacak dari pernyataan Rekson Silaban (2008). Berhadapan dengan kenyataan pasar kerja yang makin fleksibel yang makin memanfaatkan buruh non-standar ini , Ketua KSBSI tersebut mengusulkan antara lain agar penetapan outsourcing berdasarkan kerentanan (vulnerability), upah buruh kontrak/outsourcing lebih tinggi daripada buruh permanen, dan masa kerja buruh ini dihitung sesuai dengan pengalaman kerjanya.

Pengaturan proteksi atas diskriminasi kondisi kerja dan pengaturan kerja atas buruh non-standar merupakan salah satu kebijakan yang perlu diusahakan. Strategi lain menyeimbangkan antara fleksibilitas pasar kerja (flexibility) dengan sistem jaring pengaman sosial (security), yang populer dengan sebutan flexicurity. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sistem pengaman sosial tidak terlalu berkembang. Sistem yang ada pun cenderung dengan skema yang sangat terbatas dan menarget sasaran terutama di sektor formal. Dengan catatan, kepesertaan di sektor ini pun masih tergolong rendah, sebagian karena ketidakpatuhan perusahaan. Menurut data dari BPS dan PT. Jamsostek, dari sekitar 36 juta pekerja pada tahun 2007 yang terdaftar dalam kepesertaan jamsostek baru sekitar 65,8 persen, sementara yang aktif hanya sekitar 33,5 persen. Dengan kata lain, mereka yang terseret dalam arus informalisasi pekerjaan standar, kemungkinan besar tidak atau belum dilindungi oleh sistem jaring pengaman sosial yang ada. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengaman yang dapat menjerumuskan para buruh non-standar, terutama yang bergaji rendah, pada jurang kemiskinan.

Nah, kembali kepada ilutrasi di awal tulisan ini, dengan kencenderungan informalisasi pekerjaan di sektor formal, proteksi untuk para buruh non-standar, terutama yang bergaji rendah, seyogyanya memang menjadi bagian dari kebijakan proteksi pemerintah.

Daftar Referensi

Campbell, Iain. 2007. “Australia”. Dalam Sangheon Lee dan Jai-Joon Hur (Editor). Globalization and Changes in Employment Conditions in Asia and the Pacific. Seoul: Korea Labor Institute dan UNDP. Desember. Hlm.7-78.

ILO. 2007. Proceeding Pertemuan Tripartit – Mengembangkan Hubungan Industrial di Industri Minyak dan Gas di Indonesia. ILO. Bogor, 29-31 Oktober. Tidak dipublikasikan.

Lee, Byung-Hee dan Yoo, Bun-Sang. 2007. “Korea”. Dalam Sangheon Lee dan Jai-Joon Hur (Editor). Globalization and Changes in Employment Conditions in Asia and the Pacific. Seoul: Korea Labor Institute dan UNDP. Desember. Hlm.165-216.

Silaban, Rekson. 2008. 9 Upaya yang Diperlukan untuk Fleksibilitas Kerja Indonesia. Handout. Dipresentasikan pada Technical Dialogue on Employment Condition in Indonesia (22 Feb 2008). Dialog ini diselenggarakan oleh ILO bekerja sama dengan Korea Labour Institute (KLI).



[1] Sangheon Lee adalah Senior Technical Officer ILO Genewa. Pendapat tersebut diungkapkan pada acara Technical Dialogue on Employment Condition in Indonesia (22 Feb 2008). Dialog ini diselenggarakan oleh ILO bekerja sama dengan Korea Labour Institute (KLI).

[2] Sebelumnya, klasifikasi hanya terdiri dari lima kategori pertama.

[3] Istilah lain yang juga kadang digunakan antara lain ‘regular’, typical’ atau ‘traditional work’

[4] Lihat ILO (2007). Hlm. 12.

[5] Selain dua yang sudah disebutkan di atas, masih ada functional flexibility (penyesuaian relokasi pekerjaan terhadap kebutuhan pasar) dan working time flexibility (fleksibilitas waktu kerja).

[6] Wawancara dilakukan pada Januari-Februari 2008.

[7] Antara lain studi studi-studi regional yang dilakukan oleh FPBN; lihat juga TURC, Labsos UI, dan Akatiga (2006) tentang Promoting Fair Labour Regulations in Indonesia: A Study and Advocacy in Improving Local Investment Environment in Tangerang and Pasuruan.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?