Friday, September 08, 2006
"Magel Tyala Kam..."
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/13/ekonomi/2806726.htm
lapangan kerja
"Magel Tyala Kam..."
Muhammad Chatib Basri
"Magel tyala kam" (siapa pun yang membutuhkan pekerjaan akan memperolehnya). Slogan bahasa India itu mungkin tak dikenal luas di negeri ini. Tapi, ia bukan sesuatu yang asing bagi mereka yang mendalami masalah penciptaan lapangan kerja bagi penduduk miskin.
Maharashtra Employment Guarantee Scheme (EGS) tentu saja yang saya maksud. Seperti namanya, program penyediaan lapangan kerja itu dilakukan di Maharashtra, India, sejak pertengahan tahun 1970-an. Intinya sangat sederhana, penyediaan pekerjaan bagi penduduk miskin.
Tak ada yang baru di sini. Saya pernah menyampaikan ide—yang sedang saya pelajari bersama Gustav Papanek, guru besar ekonomi dari Boston University—dalam satu diskusi di Kompas tahun lalu. Rasanya, ia semakin relevan ketika kita berhadapan dengan fakta bahwa keberhasilan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja masih amat terbatas.
Memang kita mencatat, stabilisasi makroekonomi telah berhasil meredam inflasi, mampu menstabilkan rupiah dan pasar keuangan. Namun, dampaknya pada penciptaan lapangan kerja belum terlalu menggembirakan, bila kita malu menyebutnya masih jauh.
Badan Pusat Statistik memang menunjukkan angka pengangguran terbuka pada bulan Februari 2006 (10,4 persen) menurun dibandingkan November 2005 (11,2 persen). Namun, kita perlu mencatat, angka pengangguran terbuka masih meningkat, walaupun dengan tingkat yang semakin kecil, dari 10,3 persen jika dibandingkan dengan Februari 2005. Artinya, pertumbuhan ekonomi memang mulai mengurangi tambahan penganggur, tetapi belum mampu sepenuhnya menyerap tenaga kerja baru, apalagi menurunkannya.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Yang paling ideal tentunya dengan memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi dalam paruh pertama tahun 2006 ini masih amat terbatas. Sektor riil belum sepenuhnya bergerak. Investasi mengalami penurunan, begitu juga konsumsi. Karena itu, penciptaan lapangan kerja melalui pertumbuhan ekonomi akan sangat terbatas dan membutuhkan waktu. Keynes menyebut: in the long-run we are all dead.
Alur berpikir ini nyaris menjadi mantra karena selalu diulang dalam setiap diskusi mengenai ekonomi Indonesia. Pertanyaan yang lebih krusial, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini?
Kita tahu harus ada solusi penciptaan lapangan kerja. Namun, solusi itu harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, program ini harus bersifat jangka pendek dan cepat memberikan hasil karena masyarakat tak mungkin lagi menunggu terlalu lama. Kedua, ia tak boleh mengganggu stabilitas makro dan kesinambungan fiskal. Ketiga, harus mencakup aspek keadilan, berpihak kepada yang miskin dan mereka yang memang membutuhkan pekerjaan. Keempat, layak secara administrasi.
Menarik untuk belajar dari pengalaman EGS di Maharashtra. Di sini pemerintah menyediakan lapangan kerja dalam periode waktu tertentu bagi penduduk miskin melalui program pembangunan infrastruktur desa, seperti irigasi dalam skala kecil, konservasi tanah, pembangunan jalan desa, atau program reforestation.
Mahendra Dev, ekonom dari India, menunjukkan bahwa program ini telah menurunkan tingkat pengangguran di Maharashtra, jauh lebih cepat dibandingkan pengangguran di seluruh India. Sebagai contoh, penganggur perempuan turun dari 11,7 persen (1972/73) menjadi 3,5 persen (1987/88), lebih besar daripada penurunan pengangguran perempuan di India, dari 11,2 persen tahun 1972/73 menjadi 6,7 persen tahun 1987/88.
Bagaimana dampaknya kepada kemiskinan? Dev, lagi-lagi, menunjukkan tingkat kemiskinan di Maharashtra menurun dari 60,6 persen (1972/73) menjadi 28,1 persen (1987/88). Bandingkan dengan keseluruhan India dari 44,8 persen (1972/73) menjadi 25,6 persen (1987/88). Hasilnya terlihat meyakinkan.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana menjamin pekerjaan itu hanya akan dinikmati oleh mereka yang miskin dan membutuhkan? Jawabannya cukup sederhana. Kompensasi yang diberikan pemerintah dalam program padat karya ini harus berada di atas garis kemiskinan, tetapi di bawah upah sektor pertanian atau upah minimum.
Implikasinya, hanya mereka yang miskin dan benar-benar tidak memiliki pekerjaan yang akan bekerja dalam proyek padat karya (cash for work) ini. Bagi mereka yang telah memiliki pekerjaan dengan upah minimum, atau bekerja di pertanian dengan upah tertentu, tentu secara logis tidak akan meninggalkan pekerjaannya untuk bekerja di proyek padat karya dengan kompensasi lebih rendah.
Beda BLT
Di sini, berbeda dengan program cash transfer atau bantuan langsung tunai, ia tidak dibutuhkan proses identifikasi penduduk miskin secara besar-besaran. Cash for work ini akan meningkatkan pendapatan pekerja pertanian dalam periode off-season ketika mereka yang tergolong miskin dan nyaris miskin harus mencari kerja untuk menyambung hidup. Ia juga dapat mencegah mereka untuk jatuh ke dalam garis kemiskinan, terutama di daerah yang mengalami kemunduran aktivitas ekonomi akibat bencana alam atau resesi.
Dengan ini kita tak sekadar memberikan uang, tetapi juga pekerjaan. Artinya, target pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan dapat dicapai.
Semudah itukah? Sejarah mengajarkan untuk selalu berhati-hati terhadap terobosan yang terkesan mudah dan fantastis. Pelaksanaannya tentu saja tak semudah uraian di atas.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dibahas secara ketat dan hati-hati. Misalnya soal kompensasi. Ravallion, Datt, dan Chaudhuri (1993) menunjukkan bahwa inti dari program ini adalah sampai sejauh mana pemerintah dapat bertahan dari tekanan populis untuk tidak memberikan kompensasi sejajar dengan upah di sektor pertanian atau upah minimum.
Seandainya tingkat kompensasi dinaikkan lebih tinggi dari upah minimum atau upah sektor pertanian, akan terjadi perpindahan pekerja dari sektor lain ke program padat karya ini. Akibatnya, identifikasi penduduk miskin menjadi lebih sulit dan program ini tak lagi dapat dinikmati penduduk miskin. Lebih jauh lagi, beban fiskal menjadi semakin berat.
Hal lain adalah risiko korupsi. Bagaimana menjamin dana yang dialokasikan untuk program ini tidak akan dikorupsi? Kita bisa belajar dari pengalaman program-program yang ada. Misalnya, melihat kemungkinan untuk memanfaatkan program Kecamatan Development Program (KDP) sebagai alat untuk program padat karya ini. Selain itu, seandainya ingin dijalankan, sebaiknya ia dimulai dari proyek percontohan. Dari sana ia dievaluasi dan kemudian diperluas.
Hal-hal teknis ini tentu perlu dibahas lebih jauh. Namun, satu hal penting, bahwa sudah saatnya lahir satu program nyata yang mampu menciptakan lapangan kerja dan membantu penduduk miskin.
"Magel tyala kam", slogan itu mungkin terkesan berlebihan. Tapi tak berlebihan bagi jutaan penduduk yang berteriak meminta pekerjaan dan ingin lepas dari kemiskinan.
Muhammad Chatib Basri Direktur LPEM-FEUI
lapangan kerja
"Magel Tyala Kam..."
Muhammad Chatib Basri
"Magel tyala kam" (siapa pun yang membutuhkan pekerjaan akan memperolehnya). Slogan bahasa India itu mungkin tak dikenal luas di negeri ini. Tapi, ia bukan sesuatu yang asing bagi mereka yang mendalami masalah penciptaan lapangan kerja bagi penduduk miskin.
Maharashtra Employment Guarantee Scheme (EGS) tentu saja yang saya maksud. Seperti namanya, program penyediaan lapangan kerja itu dilakukan di Maharashtra, India, sejak pertengahan tahun 1970-an. Intinya sangat sederhana, penyediaan pekerjaan bagi penduduk miskin.
Tak ada yang baru di sini. Saya pernah menyampaikan ide—yang sedang saya pelajari bersama Gustav Papanek, guru besar ekonomi dari Boston University—dalam satu diskusi di Kompas tahun lalu. Rasanya, ia semakin relevan ketika kita berhadapan dengan fakta bahwa keberhasilan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja masih amat terbatas.
Memang kita mencatat, stabilisasi makroekonomi telah berhasil meredam inflasi, mampu menstabilkan rupiah dan pasar keuangan. Namun, dampaknya pada penciptaan lapangan kerja belum terlalu menggembirakan, bila kita malu menyebutnya masih jauh.
Badan Pusat Statistik memang menunjukkan angka pengangguran terbuka pada bulan Februari 2006 (10,4 persen) menurun dibandingkan November 2005 (11,2 persen). Namun, kita perlu mencatat, angka pengangguran terbuka masih meningkat, walaupun dengan tingkat yang semakin kecil, dari 10,3 persen jika dibandingkan dengan Februari 2005. Artinya, pertumbuhan ekonomi memang mulai mengurangi tambahan penganggur, tetapi belum mampu sepenuhnya menyerap tenaga kerja baru, apalagi menurunkannya.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Yang paling ideal tentunya dengan memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi dalam paruh pertama tahun 2006 ini masih amat terbatas. Sektor riil belum sepenuhnya bergerak. Investasi mengalami penurunan, begitu juga konsumsi. Karena itu, penciptaan lapangan kerja melalui pertumbuhan ekonomi akan sangat terbatas dan membutuhkan waktu. Keynes menyebut: in the long-run we are all dead.
Alur berpikir ini nyaris menjadi mantra karena selalu diulang dalam setiap diskusi mengenai ekonomi Indonesia. Pertanyaan yang lebih krusial, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini?
Kita tahu harus ada solusi penciptaan lapangan kerja. Namun, solusi itu harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, program ini harus bersifat jangka pendek dan cepat memberikan hasil karena masyarakat tak mungkin lagi menunggu terlalu lama. Kedua, ia tak boleh mengganggu stabilitas makro dan kesinambungan fiskal. Ketiga, harus mencakup aspek keadilan, berpihak kepada yang miskin dan mereka yang memang membutuhkan pekerjaan. Keempat, layak secara administrasi.
Menarik untuk belajar dari pengalaman EGS di Maharashtra. Di sini pemerintah menyediakan lapangan kerja dalam periode waktu tertentu bagi penduduk miskin melalui program pembangunan infrastruktur desa, seperti irigasi dalam skala kecil, konservasi tanah, pembangunan jalan desa, atau program reforestation.
Mahendra Dev, ekonom dari India, menunjukkan bahwa program ini telah menurunkan tingkat pengangguran di Maharashtra, jauh lebih cepat dibandingkan pengangguran di seluruh India. Sebagai contoh, penganggur perempuan turun dari 11,7 persen (1972/73) menjadi 3,5 persen (1987/88), lebih besar daripada penurunan pengangguran perempuan di India, dari 11,2 persen tahun 1972/73 menjadi 6,7 persen tahun 1987/88.
Bagaimana dampaknya kepada kemiskinan? Dev, lagi-lagi, menunjukkan tingkat kemiskinan di Maharashtra menurun dari 60,6 persen (1972/73) menjadi 28,1 persen (1987/88). Bandingkan dengan keseluruhan India dari 44,8 persen (1972/73) menjadi 25,6 persen (1987/88). Hasilnya terlihat meyakinkan.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana menjamin pekerjaan itu hanya akan dinikmati oleh mereka yang miskin dan membutuhkan? Jawabannya cukup sederhana. Kompensasi yang diberikan pemerintah dalam program padat karya ini harus berada di atas garis kemiskinan, tetapi di bawah upah sektor pertanian atau upah minimum.
Implikasinya, hanya mereka yang miskin dan benar-benar tidak memiliki pekerjaan yang akan bekerja dalam proyek padat karya (cash for work) ini. Bagi mereka yang telah memiliki pekerjaan dengan upah minimum, atau bekerja di pertanian dengan upah tertentu, tentu secara logis tidak akan meninggalkan pekerjaannya untuk bekerja di proyek padat karya dengan kompensasi lebih rendah.
Beda BLT
Di sini, berbeda dengan program cash transfer atau bantuan langsung tunai, ia tidak dibutuhkan proses identifikasi penduduk miskin secara besar-besaran. Cash for work ini akan meningkatkan pendapatan pekerja pertanian dalam periode off-season ketika mereka yang tergolong miskin dan nyaris miskin harus mencari kerja untuk menyambung hidup. Ia juga dapat mencegah mereka untuk jatuh ke dalam garis kemiskinan, terutama di daerah yang mengalami kemunduran aktivitas ekonomi akibat bencana alam atau resesi.
Dengan ini kita tak sekadar memberikan uang, tetapi juga pekerjaan. Artinya, target pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan dapat dicapai.
Semudah itukah? Sejarah mengajarkan untuk selalu berhati-hati terhadap terobosan yang terkesan mudah dan fantastis. Pelaksanaannya tentu saja tak semudah uraian di atas.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dibahas secara ketat dan hati-hati. Misalnya soal kompensasi. Ravallion, Datt, dan Chaudhuri (1993) menunjukkan bahwa inti dari program ini adalah sampai sejauh mana pemerintah dapat bertahan dari tekanan populis untuk tidak memberikan kompensasi sejajar dengan upah di sektor pertanian atau upah minimum.
Seandainya tingkat kompensasi dinaikkan lebih tinggi dari upah minimum atau upah sektor pertanian, akan terjadi perpindahan pekerja dari sektor lain ke program padat karya ini. Akibatnya, identifikasi penduduk miskin menjadi lebih sulit dan program ini tak lagi dapat dinikmati penduduk miskin. Lebih jauh lagi, beban fiskal menjadi semakin berat.
Hal lain adalah risiko korupsi. Bagaimana menjamin dana yang dialokasikan untuk program ini tidak akan dikorupsi? Kita bisa belajar dari pengalaman program-program yang ada. Misalnya, melihat kemungkinan untuk memanfaatkan program Kecamatan Development Program (KDP) sebagai alat untuk program padat karya ini. Selain itu, seandainya ingin dijalankan, sebaiknya ia dimulai dari proyek percontohan. Dari sana ia dievaluasi dan kemudian diperluas.
Hal-hal teknis ini tentu perlu dibahas lebih jauh. Namun, satu hal penting, bahwa sudah saatnya lahir satu program nyata yang mampu menciptakan lapangan kerja dan membantu penduduk miskin.
"Magel tyala kam", slogan itu mungkin terkesan berlebihan. Tapi tak berlebihan bagi jutaan penduduk yang berteriak meminta pekerjaan dan ingin lepas dari kemiskinan.
Muhammad Chatib Basri Direktur LPEM-FEUI