Thursday, September 07, 2006

Kedudukan Perempuan dalam sosio budaya Indonesia



Dimuat dalam Jurnal FPBN Edisi III

POTRET PEREMPUAN DALAM OTONOMI DAERAH

Oleh

Edriana Noerdin

Women Research Institute

Latar Belakang

Pemerintah Republik Indonesia telah membuat Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, akan tetapi penerapan Konvensi tersebut sangat lemah karena terbentur pada relativisme nilai yang berlaku di Indonesia (Katjasungkana dan Hadiz, TT, h. 21). Penjelasan UU No. 7 tahun 1984 menyatakan bahwa “…dalam pelaksanaannya ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat-istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.” Kewajiban untuk menyesuaikan pelaksanaan Konvensi dengan norma sosial yang berlaku di Indonesia tetap menempatkan perempuan Indonesia pada posisi yang didefinisikan oleh norma sosial. Fungsi Konvensi yang sesungguhnya adalah tawaran perubahan atas norma sosial yang dianggap merugikan suatu kelompok dan menyalahi azas kemanusiaan. Jika Konvensi ini sejak awal disahkan sudah dinyatakan inferior terhadap norma sosial yang berlaku, maka kemampuannya untuk menawarkan perubahan sangatlah bergantung pada definisi yang ditentukan oleh norma sosial. Pernyataan inferioritas UU No. 7 Tahun 1984 terhadap norma sosial yang berlaku, sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Ratifikasi kovensi tersebut tadinya diharapkan menjadi sebuah intervensi yang mampu mengubah tatanan politik nasional karena mempertimbangkan keterlibatan perempuan, pihak yang selama ini tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam menjalankan institusi politik. Perubahan yang diharapkan bukan semata pada jumlah perempuan yang terlibat dalam lingkar pengambil keputusan, akan tetapi juga pada representasi kepentingan dan kebutuhan perempuan yang juga menjadi aktor dalam penyelenggaraan politik tersebut. Sehingga masalah keterwakilan perempuan menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini.

Tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal baik di tingkat nasional maupun lokal besar pengaruhnya terhadap kehidupan perempuan. Hal ini disebabkan karena kehidupan perempuan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga politik formal. Kondisi yang sedemikian itu sangat ditentukan oleh siapa yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, perspektif apa yang digunakan serta ideologi apa yang tersembunyi di balik kebijakan publik yang diberlakukan. Oleh karena itu, perlu dikaji secara komprehensif dan mendalam tentang peran dan posisi perempuan dalam partisipasi dan keterwakilan dalam politik dan kebijakan publik di era otonomi daerah.

Representasi Peran Perempuan dalam Politik

Peran perempuan sebagai warga negara direpresentasikan sebagai ibu dan istri, karenanya peran sebagai pekerja tidak menjadi prioritas dan berada di bawah perannya yang sebagai ibu dan istri. Haknya pun diterapkan sesuai dengan definisi/representasinya ini, yakni bukan menjadi pemimpin, akan tetapi menjadi pendamping (istri), pembantu (sekretaris) dan pemelihara (seksi konsumsi, PKK).

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi minoritas.

Dengan mencermati berbagai aturan di tingkat nasional dan internasional yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, maka peraturan daerah pun tentunya harus merujuk pada aturan-aturan tersebut di atas. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa perempuan di negara-negara berkembang yang sedang menjalankan proses desentralisasi tetap termarjinalkan oleh pemerintah lokal.

Representasi Perempuan dalam Politik Lokal

Partisipasi perempuan dalam politik lokal tidak terumus secara jelas dalam teks peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal sangat minim, seperti yang telah kami gambarkan diatas. Perempuan hanya memiliki sedikit akses untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pembuatan peraturan daerah.

Perda No. 14 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi yang sepertinya merepresentasikan peran domestik perempuan, yaitu perempuan dilibatkan pada sektor kesejahteraan sosial. Peran publik perempuan dinyatakan sebatas keterlibatan dalam organisasi sosial atau organisasi perempuan. Pada Rincian Kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi di Bidang Sosial, kewenangan pemerintah dalam masalah Pemberdayaan Perempuan yang tercantum dalam Perda ini adalah usaha untuk mendukung perempuan meningkatkan usaha keluarga, untuk menjadi pemimpin di bidang Kesejahteraan Sosial dan pemberian peran serta wanita dalam pembangunan. Gender dalam bagian Perda ini didefinisikan sebagai “pemberian peran serta wanita dalam pembangunan”.

Kota Sukabumi dipimpin oleh walikota perempuan pertama di Jawa Barat dan memiliki begitu banyak perempuan yang mengisi jabatan struktural yang cukup berpengaruh. Namun kepemimpinan walikota perempuan tidak begitu saja menjamin bahwa pemerintahan diselenggarakan dengan perspektif gender. Salah satu contoh adalah cara pemerintah kota Sukabumi bertindak dalam menanggulangi kematian ibu, karena Angka Kematian Ibu (AKI) di Sukabumi merupakan yang tertinggi di seluruh Jawa Barat. Pada tahun 2001 tercatat 390 ibu meninggal dari 100.000 kelahiran hidup. Meskipun masalah ini dapat diidentifikasi oleh pemerintah setempat, akan tetapi penanganannya tidak menjadi prioritas.

Tidak adanya rumusan yang eksplisit mengenai peran politik perempuan menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting atau mendesak untuk dikemukakan dan dilakukan. Daerah yang memiliki Kepala Daerah perempuan pun, tidak serta merta menghasilkan Perda yang didasarkan pada kepentingan perempuan dan terutama yang menyangkut perubahan representasi perempuan baik yang domestik maupun yang publik. Bagaimana hal itu dalam hukum lokal?

Rumusan Perempuan dan Kebijakan Publik Lokal

Rumusan tentang perempuan dalam kebijakan publik lokal yang dimaksud disini adalah rumusan Perda yang mengatur aktivitas perempuan dan penampilan perempuan dalam wilayah publik. Isu-isu yang menarik dan muncul di setiap daerah tidak sama. Meskipun demikian, ada beberapa kesamaan isu yang mengemuka hampir di semua wilayah penelitian. Untuk lebih jelasnya, berbagai temuan itu dikategorikan dalam hal-hal berikut:

Adalah menarik mencermati Qanun Kota Banda Aceh No. 7 Tahun 2002 yang mengatur tata cara pemilihan Geucik (kepala kampung). Ketertarikan itu semakin bertambah ketika membaca bab 3, pasal 8 ayat (1) tentang persyaratan menjadi Geucik. Ada empat belas persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat Geucik, dan yang tertulis dalam point Mampu bertindak menjadi imam shalat: Sementara itu, dalam hukum islam dalam perspektif masyarakat umum, hanya laki-lakilah yang dapat menjadi imam shalat bagi perempuan dan laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi imam shalat bagi laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak memiliki peluang untuk menjadi Geucik dan sekaligus menegaskan bahwa kekhawatiran akan menguatnya kekuasaan yang mengabaikan perempuan bukannya tidak beralasan. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa dalam pemilihan Geucik, perempuan mengalami diskriminasi. Cara interpretasi ini sekaligus menunjukkan bahwa dengan diberlakukannya peraturan daerah, nilai-nilai patriarki lokal menguat. Ini artinya, yang pada satu sisi ruang publik perempuan menjadi tertutup.

Kenyataan itu mendorong hadirnya pertanyaan, “Apa sebenarnya yang memicu tertutupnya ruang publik perempuan?” Pertama, tertutupnya ruang publik perempuan itu bertolak dari persoalan representasi manusia, termasuk representasi perempuan sebagai produk budaya. Kedua, interpretasi atas produk budaya yang berkaitan dengan representasi manusia, termasuk hak asasi perempuan dipengaruhi oleh nilai sosial, budaya, dan agama. Hal itu sejalan dengan temuan Drage (1999) yang menyatakan bahwa interpretasi atas hak asasi perempuan dipengaruhi oleh nilai sosio-kultural dan agama.

Selanjutnya, peraturan daerah tersebut merupakan salah satu bukti bahwa keberadaan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memicu pembuatan peraturan daerah-peraturan daerah (Perda) di seluruh wilayah Indonesia.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 butir satu menyatakan, “Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah”. (Bratakusumah dan Solihin, 2002, h. 4). Oleh karena itu, salah satu persyaratan untuk menjadi Geucik diatas, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.

Perempuan dan Kesusilaan

Di banyak daerah, Perda yang mengatur tentang kesusilaan muncul. Misalnya, Perda No. 10 Tahun 2001 (Sukabumi), Perda No. 1 Tahun 2000 (Tasikmalaya), Perda No. 2 Tahun 2002 (Bali), Perda No. 11 Tahun 2001 (Solok), dan Perda No. 39 Tahun 1999 (Kupang).

Rumusan Perda-Perda tersebut, meskipun bersifat netral gender, akan tetapi pada praktiknya cenderung ditujukan pada perempuan. Misalnya, Perda No. 10 Tahun 2001 tentang Pelarangan Pelacuran yang dibuat di Sukabumi pada bab I pasal 1 ayat (4) tentang definisi pelacuran ataupun Perda No. 1 Tahun 2000 di Tasikmalaya bab I pasal 4 berikut: ”Siapapun yang kelakuannya dapat diidentifikasi bahwa ia pelacur, dilarang ada di jalan-jalan umum, di lapang-lapangan, di rumah penginapan, hotel, losmen,... berhenti atau berjalan kaki atau berkendaraan kian kemari.”

Hal senada diungkap dalam Perda No. 2 Tahun 2002 bab I pasal 1 di Bali berikut ini: “Pelacuran adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik perempuan maupun laki-laki, yang dengan sengaja menjajakan diri” Hal serupa pun diungkap oleh Perda No. 39 tahun 1999 pasal 1 butir (e) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kupang berikut ini.” Pelacuran adalah perilaku hubungan seksual yang dilakukan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki atau lebih dengan siapa saja yang membutuhkan pemuasan keinginan seksual dengan imbalan pembayaran”.

Rumusan definisi pelacuran yang tertuang dalam Perda-Perda diatas terlihat netral gender. Akan tetapi dalam praktik pelarangan pelacuran, perempuan senantiasa yang menjadi objek sasaran sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa harian surat kabar: “10 Sengseong kota Sukabumi masuk panti rehabilitasi WTS Cibadak” (Pakuan, 17-19/11/2001, h.1-3), “28 WTS dijaring petugas” (Pakuan, 13-14/9/2001, h. 4) Kedua berita itu diperkuat oleh NTB Post (4/2/2002, h. 3) dengan judul “Polra Siap Amankan WTS dan Kericuhan Lingkup Pemkab.” Ketiga berita itu menunjukkan bahwa wanita tuna susila (WTS) merupakan objek dari Perda kesusilaan, sedangkan lelaki tuna susila (LTS) tidak dianggap demikian. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata dalam hal persoalan pemberantasan pekerja seks yang selalu menjadi sasaran adalah para pekerja seks perempuan saja, sedangkan pelaku seks laki-laki tetap bebas berkeliaran mencari mangsa lainnya.

Perempuan dan Tenaga Kerja

Contoh Perda yang mengatur perempuan dan tenaga kerja muncul di Mataram, sedangkan di daerah lain, hal itu tidak mengemuka. Mataram termasuk salah satu daerah pengirim tenaga kerja Indonesia yang terbesar ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Cina dan Taiwan untuk bekerja sebagai buruh pabrik dan perkebunan, pembantu rumah tangga atau supir. Majalah Tempo Interaktif bahkan menyebut jumlah tenaga kerja wanita yang berasal dari Mataram termasuk paling tinggi di Indonesia (Tempo Interaktif, 13/1/2004). Di Mataram ada tiga Perda yang berkaitan dengan ketenaga-kerjaan yaitu, Perda No. 7 Tahun 2002 mengenai Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan, Perda No. 7 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Perda No. 9 Tahun 2002 mengenai Retribusi Ijin Ketenagakerjaan.

Perda No. 7 Tahun 2002 mengenai Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan, maksud pelayanan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kesejahteraan, perluasan lapangan kerja. Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja bertujuan memberikan jaminan perbaikan kualitas SDM tenaga kerja dan mempengaruhi peningkatan produktivitas perusahaan. Banyaknya kasus TKI, khususnya TKW yang mencari pekerjaan di luar daerah Mataram dan mengalami banyak tindak kekerasan menunjukkan bahwa di Pemerintah Kota Mataram sendiri hingga saat ini belum sepenuhnya melakukan perlindungan kesejahteraan dan perluasan lapangan kerja yang dapat menjamin dan menampung warganya, sehingga mereka tidak perlu mencari nafkah ke luar negeri.

Perda No. 9 Tahun 2002 mengenai Retribusi Ijin Ketenagakerjaan. Pemberian ijin dimaksudkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap orang pribadi atau badan hukum yang bergerak di bidang ketenagakerjaan dan sekaligus memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memungut retribusi. Perda ini tidak sejalan dengan apa yang dikeluhkan masyarakat. Banyak sekali butir-butir peraturan yang menguntungkan pengusaha jasa tenaga kerja. Perempuan yang menjadi TKI kian hari tambah banyak dan bertambah pula persoalan yang menyertai kemalangan mereka. Mulai dari penipuan calo, pembatalan pemberangkatan sampai pada pelecehan seksual yang berbentuk perkosaan menjadi keluhan yang tidak asing lagi dan menjadi nyanyian panjang para perempuan pencari kerja di luar negeri. Jadi di sini tidak termuat secara jelas butir-butir hak TKI/TKW dan sanksi bagi PJTKI yang melanggar dan tidak membayar kewajibannya.

Perda yang dibuat oleh pemerintah Mataram yang ditemukan selama penelitian ini adalah yang mengatur retribusi terhadap penyedia jasa penyaluran tenaga kerja Indonesia. Pemerintah Mataram belum mempertimbangkan pembuatan peraturan yang berisi aturan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Perspektif gender sangat dibutuhkan dalam melihat persoalan tenaga kerja Indonesia yang di satu sisi mendatangkan devisa dan juga pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi, akan tetapi menimbulkan tuntutan adanya aturan perlindungan bagi tenaga kerja. Kepekaan gender akan membuat pemerintah Mataram lebih teliti melihat persoalan tenaga kerja dan mampu mengidentifikasi jenis kekerasan spesifik yang terjadi terhadap perempuan dan karenanya mampu mengantisipasinya.

Beberapa persoalan yang dikemukakan diatas hanya sebagian kecil dari persoalan yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya. Otonomi daerah yang seharusnya merupakan peluang untuk meningkatkan posisi dan kondisi perempuan ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?