Sunday, September 03, 2006
Surat Keprihatinan dan Pengharapan Para Pendamping Buruh
BERDIRI BERSAMA KAUM BURUH
Surat Keprihatinan dan Pengharapan Para Pendamping Buruh
Bapa Kardinal, Para Bapa Uskup Sidang Konferensi Wali Gereja Indonesia, yang kami kasihi dan kami hormati.
Pada tanggal 14-18 Januari 2004 para pendamping buruh dari berbagai keuskupan Jawa, Bali, dan Lampung yang tergabung dalam Forum pendamping Buruh Nasional (FPBN) mengadakan pertemuan tahunan ke enam. Dalam pertemuan tersebut para pastor pendamping masing-masing lembaga hadir. Pergulatan para pastor bersama anggota teamnya telah menyimpulkan bahwa perburuhan sedang masuk pada satu periode yang sangat sulit. Untuk itu atas nama rekan-rekan anggota team pendampingan, kami para imam pendamping pastoral buruh, hendak menyampaikan permasalahan buruh, keprihatinan kami, dan harapan-harapan kami demi terbelanya kaum buruh dan demi kontekstualisasi iman di tengah dunia perburuhan
KONDISI PERBURUHAN SAAT INI
1. Sistem Baru dan Dampaknya Bagi Kaum Buruh
Dunia yang dianugerahi kecanggihan informasi telah mengubah pola perdagangan antar bangsa yang pada akhirnya mengubah mekanisme pasar tenaga kerja. Dengan berbagai latar belakang dan dalih telah lahir prinsip baru bernama fleksibilitas dalam “transaksi” tenaga kerja. Sistem tersebut dilahirkan untuk melenturkan segala aturan yang telah dibuat oleh International Labor Organization (ILO) maupun oleh Undang-undang Perburuhan masing-masing negara. Atas nama fleksibilitas pilar-pilar penjagaan hak-hak pekerja telah dihancurkan. Tipe pertama fleksibilitas waktu, pelaksanaan undang-undang jam kerja, pembagian shift kerja, dan patokan lembur telah diubah-ubah demi kebutuhan untuk memacu industri. Tipe kedua, fleksibilitas status kerja; di situ perjalanan karir yang dahulu dapat dijamin dengan status kerja tetap dan dapat diperjuangkan dengan cara berjenjang, kini dilumpuhkan dengan penghancuran sistem kerja tetap. Dalam praktek tersebut buruh bahkan tak lagi bisa meniti karier menuju pekerja tetap. Mereka yang baru masuk dan yang telah menjadi pekerja tetap digiring untuk menjadi pekerja kontrak waktu, yang siap diusir setiap saat. Tipe ketiga, fleksibilitas upah, di mana jumlah upah lebih diukur berdasarkan hasil kerja dan bonus-bonusnya. Upah lebih dihubungkan dengan produktivitas. Tipe keempat, fleksibilitas pengaturan kerja. Penempatan pekerja telah menjadi fungsional. Profesionalisme tak lagi diukur dari kemampuan orang bertekun menguasai satu bidang, melainkan pada kemampuan menguasai segala bidang, sehingga bisa dipindah-pindah menurut selera perusahaan. Tipe kelima, fleksibilitas organisasional (hubungan kerja), dimana hakekat buruh dalam kaitan dengan majikan telah dikaburkan. Katakan sistem sub-kontrak (Pekerjaan A dikerjakan perusahaan B, buruh melamar kerja di perusahaan A dipekerjakan di B), telah mengkondisikan buruh kehilangan sasaran untuk berunding dalam hal apapun termasuk dalam perselisihan. Dalam outsourcing (Perusahaan X menerima pekerjanya dari lembaga jasa pengerah tenaga kerja bernama PT Y) seorang buruh dipaksa taat pada dua lembaga sekaligus, yang akhirnya juga mengaburkan kepada siapa seorang buruh harus menuntut hak.
Sistem baru tersebut kami coba beberkan satu-persatu untuk mempermudah melihat betapa dahsyatnya dampak yang harus ditanggung oleh buruh. Fleksibilitas dalam beberapa bidang tadi telah menghancurkan pilar-pilar kehidupan si lemah bernama buruh. Buruh benar-benar kehilangan kepastian akan pekerjaan, hidup dalam kegelisahan tanpa jaminan kepastian masa depan. Belum lagi, regulasi macam apapun untuk menolong mereka menjadi tidak berarti karena semua telah ditentukan oleh pasar. Sementara peran Serikat (organisasi) Buruh dan pembela nasib buruh telah dipinggirkan sebagai pengganggu kelancaran transaksi tenaga kerja. Masa depan kehidupan kaum buruh benar-benar telah terbeli. Kondisi tersebut bukan lagi sekedar sebuah prediksi atau rekaan intelektual, melainkan sudah menjadi gelombang besar yang mulai menggulung kaum buruh Indonesia saat ini.
Pada masa ini kita benar-benar tak bisa lagi melulu menyalahkan mentalitas orang miskin, bagian besar bangsa ini, sebagai orang yang bodoh, malas atau apapun, sebab pada kenyataannya mereka telah menjadi miskin oleh sistem yang menutup pintu masuk mereka untuk menjadi lebih sejahtera.
2. Dampak Samping
Beberapa permasalahan perburuhan yang merebak diseputar pabrik tak kalah memprihatinkan. Ekses dari pendirian kawasan industri telah menjadi masalah sosial pelik yang jarang diperhitungkan sebelum dan sesudahnya. Ambil contoh daerah seputar Girisonta ke arah Semarang. Petani yang telah telanjur menjual tanahnya untuk kawasan pabrik ternyata tak mampu mengatur kehidupan barunya. Ratusan sumur bor yang dibuat disekitar pabrik telah mengeringkan sumber air untuk kehidupan warga. Limbah tak terukur dan tak teratur arah pengalirannya sehingga menimbulkan pencemaran di berbagai tempat. Pelacuran berdalih PHK merebak dimana-mana. Kurban PHK yang tak jelas masa depannya pada akhirnya semakin rawan menjadi pelaku berbagai tindak kriminal dengan kekerasan. Seiring dengan lenturnya pelaksanaan undang-undang di negeri kita, menjadi lumpuh pula kepekaan akan etika bisnis atau etika berusaha.
GEREJA DI TENGAH DUNIA INDUSTRIAL
Di tengah terpuruknya keadaan buruh, lembaga-lembaga di bawah payung Gereja tetap berusaha menyalakan obor pengharapan. Keberadaannya telah menjadi pertanda baik akan adanya perhatian terhadap dunia perburuhan dan segala permasalahannya. Sumbangan pemikiran dan aksinya mulai dapat dirasakan dalam kancah perburuhan Indonesia, khususnya wilayah Jawa, Bali, dan Lampung. Hal ini menandai hadirnya Gereja di tengah perburuhan. Partisipasi nyata Gereja dalam aktivitas perburuhan nampak pada dukungan keuskupan-keuskupan untuk menempatkan imamnya dalam pastoral perburuhan, dan dukungan dana dari APP KWI dan APP keuskupan-keuskupan tertentu, paroki tertentu, dan tarekat tertentu. Pada sisi yang lain kami masih merenungkan beberapa kekurangan yang serius. Imam-imam yang ditempatkan di pastoral perburuhan masih diperberat tugas-tugas parokial dan tugas-tugas khusus yang lain. Pelayanan perburuhan di beberapa lembaga masih mengalami kesulitan untuk mengakses dana dari lembaga penyangganya. Bila keadaan seperti ini tak diatasi, bahaya cepat puas pada simbol-simbol akan menerjang kita. Kita akan menjadi bangga karena telah memiliki lembaga-lembaga perburuhan, sementara lembaga yang dimaksud menjadi mandul dan tak bergigi karena tak di sangga dengan dukungan yang memadahi.
Dinamika di atas telah menunjukkan sinyal kesadaran bahwa beberapa wilayah keuskupan kita telah benar-benar berubah menjadi wilayah industrial. Sebuah kenyataan perubahan telah dan sedang terjadi. Tanpa mengatakan bahwa bidang perburuhan sebagai bidang utama dalam Gereja, kami hendak mengungkapkan penilaian kami, bahwa sebenarnya persoalan buruh belum menjadi bagian dari kesadaran kaum beriman dan pimpinan Gereja setempatnya. Keadaan industrial di suatu wilayah, terutama tentang perburuhannya, masih terlalu jauh dari pembicaraan mengenai kontekstualisasi iman dan kegiatan-kegiatan Gereja. Bila demikian yang terus terjadi, maka keuskupan dan paroki yang wilayahnya telah menjadi sangat industrial akan semakin tidak kontekstual. Pada akhirnya, Rerum Novarum, yang lahir dari buruh dan dibidani oleh nabi-nabi perburuhan, serta segala dokumen Ajaran Sosial Gereja yang mengikutinya akan dijauhkan dari kehidupan buruh, lalu dijadikan kenangan dan reliqui yang dimuseumkan.
Banyak Ajaran Sosial Gereja telah membuktikan adanya keprihatinan mendalam terhadap kaum buruh. Di sana tersirat dan tersurat sebuah sikap dasar umat Allah yang digemborkan Gereja yakni memilih memihak pada yang miskin. Di lapangan, beberapa kawan awam anggota team kerja perburuhan masih saja menemukan pengalaman yang terus direfleksi ulang, yakni ketika seorang gembala melarangnya melakukan pendataan permasalahan perburuhan karena parokinya sangat didukung secara finansial oleh para pengusaha. Pengalaman tersebut telah menusuk nurani kami akan sikap pimpinan yang hidup di tengah domba lapar. Kiranya, banyak pihak memerlukan retret kehidupan untuk mengangkat kembali arti memilih memihak yang paling miskin, seperti kita pelajari dari sang Guru Agung, Yesus Kristus.
Seraya menyebutkan istilah pemihakan di atas, kami hendak mengatakan keyakinan kami pula, bahwa kondisi perburuhan saat ini tak bisa dijawab hanya dengan asal melawan, asal teriak demonstrasi, dan asal berani tunjuk hidung. Hal tersebut hanya akan memperparah sikap tertutup, membenarkan PHK, dan menggelembungkan angka pengangguran. Dengan kacamata makro terlihat bahwa akar masalah perburuhan saat ini tidak sebatas pribadi-pribadi, perusahaan-perusahaan, atau pengambil kebijakan dalam pemerintahan kita, melainkan ada pada kekuatan sistematis yang sedang berjalan. Selama ini Gereja dilengkapi dengan optimisme, dimana masalah masalah dunia ini bisa diselesaikan dalam iman. Gereja memiliki pula tradisi untuk membangun opini publik dan mempengaruhi konfigurasi masyarakat lewat berbagai media. Artinya, kekuatan dasar dan cara alternatif masih kita miliki. Semoga sikap tanggap kita bersama benar-benar menjadi penyejuk bagi kaum buruh yang mendamba perhatian dan tindakan segera.
HARAPAN
Mengingat betapa beratnya tantangan buruh pada hari yang akan datang, dan mengingat betapa pentingnya arti keberadaan kaum buruh bagi Gereja dan bangsa manusia, kami para pastor pendamping buruh, atas nama para anggota team pelayanannya, menghadapkan dengan rendah hati segala pengharapan kami kepada Bapa Kardinal dan para Bapa Uskup Sidang Konperensi Wali gereja Indonesia, dan para gembala pada umumnya.
Pertama, kami mengharapkan adanya kesatuan hati untuk membanngun kesadaran bersama seluruh umat dan gembalanya, bahwa kaum buruh adalah bagian dari Gereja kita, dan permasalahan buruh adalah permasalahan kita juga. Kiranya hal ini yang akan membukakan ruang keberpihakan kita kepada kaum buruh lemah, yang selama ini tidak masuk dalam perhitungan kehidupan menggereja kita. Kami sadar bahwa dipundak kamilah terbeban tanggungjawab untuk mengenalkan permasalahan perburuhan kepada umat. Namun ruang-ruang sosialisasi tersebut semakin tidak dimungkinkan, terutama ketika paroki-paroki semakin didominasi saudara-saudari yang memerintah kaum buruh di perusahaan-perusahaannya. Karena itu besar harapan kami, bahwa kemudian para Bapa Uskup berkenan mencantumkan permasalahan-permasalahan perburuhan dalam surat-surat gembala atau nota pastoralnya.
Kedua, kami mengharapkan adanya kesatuan langkah untuk memperhatikan kaum buruh. Hal tersebut bisa ditunjukkan dengan porsi waktu, tenaga, dan dana yang dikeluarkan paroki, keuskupan, dan KWI lewat lembaga sosialnya. Beberapa gagasan ini barangkali bisa dipertimbangkan untuk partisipasi Gereja, misalnya mungkinkah kerawam atau paroki-paroki memasukkan perburuhan sebagai sasaran pelayanannya? Mungkinkah ada ruang di seputar bangunan gereja yang bisa dipersembahkan untuk aktivitas pendampingan buruh?
Kami hanyalah salah satu bagian dari Tubuh Kristus yang hidup, yang mengkhususkan diri untuk menjadi pendengar bagi permasalahan kaum buruh dan menyuarakan kembali rekaman kami kepada sesama. Untuk mengerjakannya, kami memerlukan kerjasama dari bagian-bagian tubuh yang lain. Semoga kemitraan yang terjalin dalam mengatasi masalah perburuhan ini sekaligus menjadi obat bagi penyakit rohani kita yang cenderung memisahkan iman dan doa dari masalah aktual sosial masyarakat. Sekaligus membuktikan bahwa kita benar-benar berani berdiri bersama kaum buruh.
Hormat Kami:
Atas nama segenap lembaga-lembaga Perburuhan anggota Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) :
· Rm. I. Swasono, SJ : Direktur LDD KAJ
· Rm. Suyut, Pr : Ketua Komisi PSE Keuskupan Bogor
· Rm. F. Danuwinata, SJ : Moderator Sekretariat Perburuhan Institut Sosial
· Rm. B. Jumiyana, Pr : Direktur Pastoral Perburuhan Keuskupan Bandung
· Rm. Johan Wongso, SSCc : Moderator Young Christian Workers Bandung
· Rm. V. Sugondo, SJ : Pimpinan Pastoral Buruh dan Kawasan Girisonta
· Rm. Ignatius Suparno, CM : Pastor Pendamping Buruh Keuskupan Surabaya