Friday, September 08, 2006

Jamsostek dan Harapan Para Pekerja

Daulat Sinuraya

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 disebutkan bahwa jaminan sosial (sosial security) adalah salah satu bentuk perlindungan sosial, untuk menjamin rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak.

Menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 1992, Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja, dalam bentuk santunan berupa uang, sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu, program Jamsostek merupakan program pemerintah, yang bertujuan memberikan perlindungan dasar bagi tenaga kerja, guna menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia dalam mengatasi resiko-resiko yang timbul dalam melakukan pekerjaan. Program Jamosostek saat ini mencakup Jaminan Kecelakaan (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Masih Kurang

Kalau kita simak sejarah Jamsostek di Indonesia yang sudah dimulai sejak hampir 30 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1977 dan sampai saat ini sebenarnya sudah membuahkan hasil nyata, namun apa yang dicapai masih sangat jauh dari apa yang diharapkan ketika awal pendiriannya. Konkretnya, apa yang dicapai Jamsostek saat ini masih kurang dari 30 persen dari apa yang seharusnya.

Dalam situasi dan kondisi perekonomian, serta masalah ketenagakerjaan yang dialami Indonesia yang cukup berat dan kompleks saat ini, dan kedepan pengembangan program Jamsostek merupakan terobosan strategis, untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja dan keluarganya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Jamsostek juga merupakan perwujudan gotong royong yang menurut penulis adalah salah satu budaya Indonesia yang harus dilestarikan.

Akan tetapi, tentunyakita semua tentu prihatin mendapat informasi dari berbagai media tentang aksi demo atau unjuk rasa Serikat Pekerja/Karyawan PT Jamsostek (persero) beberapa hari yang lalu. Mengapa kita prihatin?Karena hal itu terjadi ditengah-tengah berbagai kesulitan masyarakat Indonesia saat ini yang notabene sebagian besar pekerja atau buruh mengalami cobaan yang bertubi-tubi mulai dari gempa bumi, banjir, tsunami dan berbagai kesulitan ekonomi dan hidup yang cukup berat.

Karena itu, terlepas dari substansi tuntutan para karyawan tersebut secara intern di lingkungan PT Jamsostek (persero), peristiwa ini perlu disikapi bersama dengan kejernihan pikiran dan kearifan oleh berbagai pihak, yang terkait dengan intern PT Jamsostek (persero) dan berbagai pihak secara ekstern terutama pemerintah. PT Jamsostek (persero) sebagai lembaga (institusi) penyelenggara, perlu segera dibenahi dan diupayakan secara maksimal agar dapat melakukan fungsinya lebih optimal.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa kondisi saat ini, penyelenggaraan program Jamsostek tentu masih jauh dari harapan agar menjadi pelopor dan embrio penyelenggaraan jaminan sosial, terutamabagi para angkatan kerja (labor force) khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Jangankan meliput angkatan kerja, pekerja formal, dalam hubungan kerja saja belum semua berhasil dlindungi oleh program Jamsostek, walaupun sudah berjalan hampir 30 tahun dan diperlengkapi dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang cukup kuat.

Masih banyak terjadi keluhan peserta, kebijakan investasi yang sering mengundang reaksi gejolak perburuhan, kesadaran dan tanggung jawab pengusaha, kemampuan dunia usaha yang cukup heterogen, organisasi dan sistem administrasi PT Jamsostek (persero), transparansi, dukungan teknologi dan SDM masih kurang mengantisipasi dinamika perubahan masalah ketenagakerjaan, aparat pengawas ketenagakerjaan belum mendukung optimal berkaitan masalah otonomi daerah (otda) dan lainnya.

Untuk itu perlu segera diupayakan langkah strategis kedepan, dalam mengembangkan program Jamsostek agar dapat memenuhi harapan pekerja dan keluarganya serta masyarakat Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan.

Kepesertaan program Jamsostek sudah saatnya dijadikan komitmen nasional, agar semua pekerja dalam hubungan kerja (status formal), mendapat jaminan perlindungan kemudian diupayakan bagi pekerja diluar hubungan kerja (status informal) dan pada saatnya seluruh angkatan kerja, yaitu termasuk perlindungan bagi para penganggur (unemployed social security).

Keamanan Dana

Untuk komitmen ini peranan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota sangat menentukan terutama karena pelaksanaan otonomi daerah. Dalam rangka perwujudan komitmen tersebut, jajaran PT Jamsostek (persero) harus lebih dimantapkan terutama dalam hal kelembagaan, administrasi, sumber daya manusia, perangkat, manajemen dan lainnya.

Aspek keamanan dana yang terkumpul dan pelayanan hak peserta, harus menjadi prioritas utama untuk menumbuhkembangkan kepercayaan perusahaan dan pekerjanya. Mengingat berbagai perubahan yang berkembang cepat, peningkatan kesadaran, tanggung jawab (responsibility) dan efektivitas para pihak terkait melalui berbagai upaya transformasi pola pikir (mindset) perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan program Jamsostek yang berkesinambungan (sustainable). Sadar berarti menghargai atau menghormati kenyataan.

Bertanggung jawab adalah bagaimana merespon setiap keadaan dengan baik. Efektif paling sedikit mencakup waktu, pengenalan kekuatan, kontribusi, skala prioritas dan pengambilan keputusan. Masih banyak aspek yang harus diungkapkan menyangkut tentang keberadaan program Jamsostek di masa depan agar dapat memenuhi harapan sejak pendiriannya.

Program Jamsostek sebagai bagian dari program jaminan sosial nasional perlu dikaji dan dikembangkan untuk menjadi salah satu solusi utama dalam mengatasi persoalan ekonomi rakyat Indonesia.

Penulis adalah Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi KodyaJakarta Pusat, Pengamat SDM dan Ketenagakerjaan


Calon Presiden AS 2008 itu pernah jadi warga Menteng Dalam

Calon Presiden AS 2008 itu pernah jadi warga Menteng Dalam

Kiriman email dari Aditya Heru Wardhana tgl. 19 Juli 2006

Kisah Barack Obama alias Barry di Indonesia menarik untuk dijelajahi. Setelah berpuluh-puluh tahun meninggalkan Jakarta dan terbang ke AS, Barry masih ingat dengan kandang ayam. Maklum, ayah tiri Barry, Lolo Soetoro, sangat senang dengan ayam aduan.

Barry saat ini menjadi senator AS dari negara bagian Illinois. Pria keturunan AS-Kenya ini sekarang disebut-sebut sebagai calon Presiden AS tahun 2008. Dia akan bersaing dengan Hillary Rodham Clinton dalam konvensi Partai Demokrat.

Suatu waktu, Barry pernah mengaitkan penularan flu burung dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam memelihara ayam. Dia teringat saat tinggal di kawasan Menteng Dalam, Jakarta Selatan, banyak tetangganya yang memelihara ayam di pekarangan dan sekitar rumah.

Nama Barack Obama moncer di AS. Sementara di kawasan Menteng Dalam, Jakarta Selatan, Barack dikenal dengan nama Barry. Dulu, tahun 1968-1970, jalan-jalan di kawasan Jl. KH Ramli, Menteng Dalam -- daerah yang ditinggali Barry -- masih belum beraspal. Rumah Barry pun terletak di gang sempit.

Selama sekitar 3 tahun, 1968-1970, Barry tinggal di sebuah rumah cukup bagus berluas tanah sekitar 300 meter persegi. Rumah milik Lolo Soetoro Mangunharjo, ayah angkatnya, ini beralamatkan di Jl. KH Ramli Tengah nomor 16 RT 011/16. Hingga saat ini, rumah ini masih kokoh berdiri.

Barry saat ini menjadi senator AS dari negara bagian Illinois. Dia yang sempat bersekolah SD di Jakarta selama empat tahun ini (3 tahun di SD Asisi, 1 tahun di SD 04 Besuki) ini sekarang disebut-sebut sebagai calon Presiden AS tahun 2008. Dia akan bersaing dengan Hillary Clinton
dalam Konvensi Partai Demokrat.

Menurut Zulfan Adi, mantan tetangga dan teman sepermainan Barry, kawasan Jl. KH Ramli pada tahun itu masih belum seramai sekarang. Saat ini, kawasan ini sungguh luar biasa padat. Akses jalan menuju kawasan ini juga sempit, pas untuk dua mobil saat berpapasan.

Bahkan, jalan menuju rumah Barry lebih sempit lagi, hanya muat untuk satu mobil. "Gang ini dari dulu ya seperti ini, tidak ada perubahan apa-apa sampai sekarang. Bedanya, dulu jalan tanah, sekarang sudah diaspal," ujar Zulfan Adi.

Adi sangat mengenal Barry. Rumah Adi hanya terpaut sekitar 20 meter dari rumah Barry. Hingga saat ini, Adi pun masih tinggal di rumah lamanya yang ditempati sejak tahun 1968 itu bersama ibu kandungnya. Adi masih sangat ingat tentang Barry kecil.

"Kami sering bermain dan bercanda," ujar Adi yang saat ini mengelola warung internet (warnet) di kawasan Menteng Dalam ini. "Dulu dia punya buaya. Kita sering menggodanya dengan kura-kura," kenang Adi.

Menurut Adi, dirinya bersama Rony Amir (sekarang karyawan Bank Mandiri) sangat sering bermain bersama Barry. "Dulu di sini masih sepi. Jadi, teman-teman saat itu ya masih sedikit. Teman-teman sepermainan ya kita-kita saja," ujar Adi, yang pernah menjadi Ketua RT 011/16 ini.

Saat itu, kawasan Jl. KH Ramli belum dipenuhi rumah seperti sekarang. Dulu masih banyak lahan kosong. Yang sering dilakukan Barry dan teman-teman saat itu adalah main perang-perangan. Istilah 'hutan asisi' yang saat itu dikenal teman-teman sepermainan ya tanah lapang di kawasan ini. Namun, saat ini tanah lapang yang dijadikan tempat bermain ini sudah tak tampak lagi.

Rony Amir mengaku, dalam bermain, Barry sangat disiplin. "Kalau bermain hanya waktu sore saja. Sepulang sekolah, dia tidak langsung main," ujar Rony yang bernostalgia bersama Adi tentang Si Barry. Saat bercerita, kedua teman Barry ini kadang-kadang tertawa karena mengingat kisah kecil Barry.

"Dulu badannya tinggi besar, rambut keriting. Bagi kami, anak ini aneh aja, lucu. Jarang ada orang seperti itu," ujar Adi.

Baik Adi dan Rony, tidak pernah memasuki rumah Barry. "Tidak pernah. Kita segan, karena ibunya bule," ujar Adi. Meski begitu, menurut Adi dan Ronny, rumah Barry saat ini masih belum banyak berubah. Hanya lantai saja yang sudah diganti oleh pemilik rumah yang baru.

Rumah peninggalan Barry saat ini sudah berpindah tangan. Rumah ini sudah
bukan milik Lolo Soetoro, tapi sudah menjadi milik Ivan.

"Saya belum mengubah bentuk rumah. Saya hanya mengganti lantai saja. Dindingnya pun masih asli dari dulu, tidak berubah sama sekali," ujar Ivan. Adi dan Rony juga membenarkan bahwa rumah yang pernah ditinggali Barry ini tidak berubah bentuk sama sekali.

"Bentuknya masih belum berubah. Pagar rumah ini juga masih seperti dulu," ujar Rony sambil menunjuk pada pagar rumah bercat coklat tua itu. Pagar rumah Barry ini terbuat dari besi. Bangunan rumahnya berlantai dua di bagian belakang.

Junino Jahja (47) termasuk sahabat yang memiliki kenangan berkesan bersama Barack Obama di masa kecil. Selama sepekan terakhir, Junino selalu teringat dengan sahabatnya, yang dikenal dengan nama Barry itu. Junino berteman dengan Barry karena satu sekolah di SD (Percobaan) 04 Besuki, Jakarta Pusat. Memang, Junino tidak satu kelas dengan Barry. Junino satu
kelas di atas Barry. "Seingat saya, dia kelas lima, saya kelas enam. Tapi, kalau tidak salah lho ya," ujar Junino.

Tapi, menurut Junino, bisa jadi dirinya kelas 5, sementara Barry kelas 4. Menurut informasi Onny Padmo, teman sekelas Barry, pada tahun 1971, Barry masuk kelas 4 dan hanya satu tahun. Saat Onny naik kelas 5, Barry sudah tidak ada lagi.

Junino mengenal dekat Barry saat sama-sama aktif di Pramuka. "Saya kenalnya di Pramuka. Saat itu, kita sudah di penggalang," aku pria yang kini menjabat Deputi Pengawasan Internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini saat berbincang-bincang dengan detikcom, Kamis (6/7/2006).

Barry termasuk anak yang suka kegiatan Pramuka. Kegiatan-kegiatan tali temali, menyanyi, dan sebagainya selalu diikutinya. "Hanya saja, dia keteteran kalau sudah ada kegiatan fisik, seperti lari-lari. Dia agak lambat, karena badannya sangat gemuk. Dulu gemuk sekali," ujar
mantan salah seorang direktur di PT Indosat ini.

Yang tidak terlupakan, setiap Barry mengikuti kegiatan Pramuka di sekolah, selalu membawa makanan. Ibu Barry selalu membekali Barry dengan makanan-makanan enak, seperti cokelat. "Saat di sekolah, Barry sering membagi-bagikan cokelat itu kepada saya dan teman-teman," kenang Junino.

Di mata Junino, Barry merupakan anak yang mengedepankan disiplin. Ketika waktu pulang sekolah, Barry langsung pulang, tidak bermain seperti anak-anak sebaya saat itu.

Barangkali ini juga pengaruh pendidikan orangtuanya. Ibunda Barry, Ann Dunham adalah bule asal Amerika Serikat, dan ayah tirinya, Lolo Soetoro Mangunharjo merupakan tentara berpangkat kolonel yang juga pegawai di Pertamina. "Setiap pergi dan pulang sekolah, Barry selalu diantar dan dijemput oleh ibunya," kata Junino.

Saat pertama kali mengenal Barry, Junino dan teman-teman juga sempat bertanya-tanya, mengapa kok Barry berambut keriting dan berkulit hitam, padahal ibunya orang bule, sedang bapaknya orang Indonesia. Saat itu, Junino dan kawan-kawan belum mengetahui bahwa ayah kandung Barry adalah orang Kenya, Afrika yang berkulit hitam.

Berteman dengan Barry, kata Junino, cukup menyenangkan. Orangnya easy-going. Barry sangat pandai bergaul. Seingat Junino, bahasa Indonesia Barry juga cukup lumayan. "Kita ngomong bahasa Indonesia kok," ujar dia. Barry juga seorang humoris, suka bercanda, pokoknya menyenangkan.

Saat akan meninggalkan Indonesia, Barry sempat menyampaikan kalimat berpisah kepada teman-temannya. "Saya mau pindah ke Amerika. Mudah-mudahan bisa ketemu lagi," kata Barry saat itu. Menurut Junino, ucapan selamat tinggal itulah yang paling terakhir dia dengar.

Setelah Barry pindah ke Amerika, Junino tidak pernah berkomunikasi lagi. Informasi tentang Barry juga tidak pernah Junino dapatkan. Dia juga baru saja mengetahui bahwa Barry saat ini menjadi senator AS. "Hebat bener orang ini. Padahal dulu, orangnya santai-santai saja, jauh dari kesan serius," ujar dia.

Sebagai teman dekat, Junino juga berharap Barry bisa datang ke Indonesia. "Saya kesulitan mendapatkan kontak dia. Semoga dia bisa datang ke Indonesia dan kami bisa bertemu lagi," harap Junino.


Semoga saja Barry terpilih sebagai Presiden AS pada pemilu 2008 nanti...

KONDISI PERBURUHAN DAN PRAKTEK SISTEM KERJA KONTRAK

Hasil pendataan fleksibilitas pasar tenaga kerja di Jawa Timur dan beberapa wilayah terpilih di Jabotabek

Ringkasan eksekutif


Pengantar

Hingga hari ini, kondisi perburuhan amat mencemaskan. Bukan saja bagi buruh yang mengalaminya, tetapi juga bagi masa depan bangsa ini. Setidaknya dua hal, pertama, makin meluasnya praktek sistem kerja konntrak di berbagai perusahaan. Kedua, semakin maraknya lembaga-lembaga out-sourcing dan agen penyalur tenaga kerja yang merugikan buruh. Kedua persoalan tersebut terjadi bukan hanya di satu tempat, tetapi telah meluas ke berbagai zona industri.
Dalam rangka menyikapi permasalahan tersebut, Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) yang terdiri dari 12 lembaga perburuhan dengan melibatkan berbagai serikat buruh di masing-masing daerah melakukan pendataan lapangan. Tujuan pendataan ini adalah hendak memotret dari dekat perubahan kondisi perburuhan yang terjadi akibat dari kebijakan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Selain itu juga sekaligus, memperkuat aliansi serikat buruh di beberapa daerah dalam rangka menemukan peran alternatif untuk perubahan kondisi hubungan industrial yang lebih adil dan manusiawi.

1. Lingkup pendataan

Dari sisi ruang lingkup, pendataan ini masih sangat terbatas. Wilayah yang dipilih adalah wilayah di mana lembaga-lembaga FPBN terlibat dalam pendampingan perburuhan. Pendataan ini dilakukan di Jawa Timur dan beberapa wilayah di Jabotabek, Serang , Bandung dan Lampung. Di Jawa Timur, perusahaan yang didata dari daerah Surabaya, Malang, Sidoarjo, Jombang, Pandaan, Mojokerto dan Tulung Agung. Sedang serikat buruh yang terlibat adalah Serikat Buruh Kerakyatan (SBK-Surabaya), Serikat Buruh Payung Demokrasi (SBPD-Sidoarjo) , Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI-Malang), Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi-Gresik), Kelompok Kerja Buruh Jombang (KKBJ) dan Serikat Buruh Demokratik Malang. Inisiatif koordinasi dan analisis difasilitasi oleh lembaga FPBN wilayah timur yang terdiri Kerukunan Pekerja Katolik (KPK) Surabaya, Institut Solidaritas Buruh Surabaya (ISBS) dan Vincentian Center Indonesia (VCI) Malang.
Sedang di barat wilayah pendataan meliputi Tangerang, Serang, Bekasi, Bogor, Bandung dan Lampung. Serikat buruh yang terlibat antara lain Komite Buruh Cisadane-KBC (Fed SB Karya Utama, SB Jabotabek-Perjuangan Tangerang, Serikat Buruh Nusantara, GSBI, Forum Komunitas Buruh); Forum Serikat Buruh Bekasi (FSBDSI, SPSI unit, Perbupas, Serikat Pekerja Independen, SPMI); Serikat Buruh Jabotabek Perjuangan-Bogor, Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung, Komite Buruh Bandung. Forum Solidaritas Buruh Serang. Lembaga FPBN yang memfasilitasi antara lain; Sekretariat Perburuhan Institut Sosial (SPIS), Komisi PSE Keuskupan Bogor, Pastoral Perburuhan Keuskupan Bandung (PPKB), Young Christian Worker Bandung, Biro Pelayanan Buruh-Lembaga Daya Dharma-KAJ.


2. Catatan metodologis

Secara metodologi, proses pendataan ini juga masih sangat terbatas. Proses pendataan ini dilakukan dengan cara menyebar kuesioner pendataan ke serikat-serikat buruh, melalui wawancara; diskusi-diskusi kelompok dan lokakarya pasca pendataan. Dari hasil pendataan, di wilayah barat terdata 91 perusahaan yang meliputi 13 jenis produksi/industri dan di Jawa Timur terdata 48 perusahaan dengan 8 jenis produksi/industri.

RANGKUMAN HASIL PENDATAAN:

3. Fleksibilitas pola hubungan kerja


Kondisi perburuhan yang paling mencolok perubahannya adalah soal status hubungan kerja. Dalam bahasa sehari-hari, status hubungan kerja dibedakan antara status tetap dan kontrak. Fakta di lapangan menunjukkan ada kecenderungan yang kuat bahwa banyak perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak. Dari hasil pendataan di Jawa Timur terdapat 48 pabrik yang mempekerjakan 34.234 orang buruh. Dari jumlah tersebut 32 % (L:4919 + P: 6546) berstatus tetap; 48 % (L: 7686 + P: 8882) berstatus kontrak dan 20 % (L:1946 + P: 4255) berstatus harian lepas. Dari angka tersebut ditemukan bahwa 68 % buruh yang terdata berstatus kontrak. Dibandingkan dengan pendataan tahun 2003, di Jawa Timur mencatat bahwa jumlah buruh dengan status kontrak meningkat sebesar 7 %.
Di wilayah barat, dari 91 perusahaan yang terdata, terdapat 57 perusahaan atau 62,6 % sudah mempraktekkan sistem kerja kontrak. Dari angka itu jumlah terbesar ada pada jenis industri tekstil dan garment, sebesar 28 perusahaan. Angka tersebut juga sangat signifikan dengan perubahan pasar tekstil dunia. Laporan majalah Time (1-11-2004) menunjukkan bahwa kuota pasar tekstile Indonesia pasca-kuota 2005 hanya 2 %.

4. Fleksibilitas dari segi pengupahan

Salah satu dampak langsung yang harus dialami buruh dari perubahan status kerja tetap ke kontrak adalah soal upah. Dari data yang ditemukan ada kecenderungan bahwa staus kontrak berarti besaran upah juga menurun. Di Jawa Timur ditemukan 17 perusahaan yang memberikan upah buruh dengan status kontrak dan harian lepas diupah dibawah UMK ; 16 perusahaan memberikan upah sesuai UMK. Di barat juga ditemukan bahwa 87 perusahaan memberi upah buruh kontrak hanya sebatas UMK tanpa ada tunjangan lainnya.
Dari paparan itu nampak bahwa terjadi diskriminasi upah antara buruh tetap dengan buruh kontrak. Buruh tetap masih menerima tunjangan-tunjangan dan fasilitas lain seperti premi hadir, tunjangan transport, uang makan, Jamsostek, sedang buruh kontrak hanya UMP/UMK saja.

5. Fleksibilitas jam kerja

Jam kerja merupakan variabel yang krusial dalam hubungan kerja. Karena jam kerja menjadi faktor upah (time rate) ada gejala bahwa jam kerja mulai difleksibelkan. Artinya bahwa panjangnya jam kerja tidak selalu berbanding lurus dengan besaran upah yang diterima. Jam kerja juga menjadi variabel aturan normatif, namun demikian tidak selalu ditaati oleh perusahaan. Kasus yang ditemukan adalah bahwa panjang-pendeknya jam kerja ditentukan oleh target produksi. Artinya, patokan kerjanya adalah target produksi. Apabila target tidak tercapai, berarti jam lembur tidak dibayar.

6. Fleksibilitas fasilitas jaminan sosial.

Perubahan dari buruh tetap ke kontrak juga membawa implikasi langsung soal jaminan sosial sebagai bentuk perlindungan negara terhadap buruh. Negara mengatur jaminan sosial melalui UU no.3/1992. Buruh mendapat perlindungan jaminan sosial berdasarkan kontribusinya sendiri dan pengusaha. Bagi pengusaha kontribusi jaminan sosial/jamsostek menjadi labour cost. Menurut aturan, bahwa buruh dalam status apapun mesti mendapatkan jamsostek. Akan tetapi fakta di lapangan ditemukan bahwa buruh kontrak tidak mendapatkan jaminan apapun, entah itu pensiun maupun kesehatan. Di wilayah barat, semua buruh kontrak tidak mendapatkan jaminan sosial maupun hak-hak lainnya seperti THR, atau bonus tahunan.

7. Kasus-kasus lain dibalik motif fleksibilitas

Peristiwa demi peristiwa menandakan litany kepedihan kaum buruh yang sedang dilanda bencana fleksibilitas. Baik di Jawa Timur maupun di barat, kasus-kasus PHK, penundaan bayar upah atau meliburkan tanpa batas waktu adalah upaya-upaya fleksibilisasi hubungan kerja. Motif-motif yang sering muncul untuk mengubah status tetap ke kontrak melalui penutupan pabrik, pemutihan masa kerja, sepi order dan target produksi. Setidaknya kasus-kasus yang ditangani Komite Buruh Cisadane (KBC) di Tagerang di pabrik-pabrik garment dan tekstil, demikian juga yang terjadi di Jawa Timur.

DAMPAK-DAMPAK YANG DI TIMBULKAN

8. Dari fakta-fakta yang ditemukan bahwa semakin maraknya praktek hubungan kerja kontrak semakin mengaburkan dan memperparah kondisi perburuhan di berbagai daerah atau bahkan di Indonesia. Fleksibilitas yang bagi Bapenas & Depnakertrans sebagai solusi untuk menurunkan angka pengangguran dan memperluas kesempatan kerja justru berdampak sebaliknya. Sebab, proses PHK semakin mudah dan mendapatkan pekerjaan kembali makin sulit. Maka dapat dipastikan bahwa dengan kebijakan fleksibilitas angka pengangguran justru makin tinggi. Bagi buruh ini membawa dampak psikologis maupun ekonomis. Pertama, tidak ada kepastian kerja dan mengaburkan perencanaan masa depan. Kedua, kesejahteraan burh makin berkurang karena perubahan status kerja bentuk-bentuk perlindungan makin hilang. Ketiga, semakin memiskinkan buruh industri karena komponen-komponen pengupahannya semakin berkurang. Semua ini disebabkan oleh kebijakan ketenagakerjaan yang timpang. Yakni kebijakan memperluas kesempatan kerja (job opportunity) tidak dibarengi dengan perlindungan kerja (employment security) justru karena makin melemhnya peran negara.

9. Bagi serikat buruh kebijakan fleksibilitas pasar kerja akan membawa dampak sebagai berikut. Pertama semakin berkurangnya anggota. Kedua, semakin sulit mengorganisir buruh kontrak. Ketiga, dalam perannya, serikat buruh semakin banyak menghadapi berbagai kekuatan pada level; kekuatan pasar global/pengusaha, negara, pemerintah local maupun kekuatan informal di sekitar industri. Keempat, kepentingan serikat buruh baik secara normative maupun politis semakin tidak tidak diakomodasi oleh negara, karena regulasi hubungan industrial tidak lagi hanya ditentukan oleh negara/lokal tetapi oleh pasar/global.

Rekomendasi:

Berdasarkan fakta-fakta di lapangan berkaitan dengan praktek fleksibilitas hubungan industrial yang terjadi di berbagai perusahaan yang terdata, kami merekomendasikan:

Pertama, tinggalkan kebijakan yang bernuansa Labour Market Flexibility dan negara mesti menciptakan regulasi ketenagakerjaan yang mengedepankan kepastian dan perlindungan kerja.
Kedua, merujuk pada hasil studi Jetro Maret 2004 dan Pusat Studi Asia Pasifik UGM, 2004, pemerintah mesti menyederhanakan prosedur, memperpendek jumlah hari dan meminimalkan biaya investasi asing maupun domestik. Persoalan perburuhan bukanlah inti dari penyebab rendahnya investasi di Indonesia. Tetapi lebih persoalan birokrasi negara.
Ketiga, negara perlu mereformasi kebijakan perpajakan yang berkaitan dengan aktivitas maupun hasil industri untuk meningkatkan daya saing.
Keempat, pemerintah mesti menyediakan fasilitas dan memperluas program training dan re-training bagi tenaga kerja dalam rangka meningkatkan mutu, produktivitas dan daya saing.

## fpbn ##


Keterangan:
Uraian lebih lengkap dari pendataan ini dapat di baca pada paper:

________________, Sistem Kerja Kontrak, Sistem Kerja yang Tidak Manusiawi (position paper) Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) wilayah timur, Desember, 2004
________________, Buruh dan Bayang-bayang Rezim Fleksibilitas, (position paper) Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) wilayah barat, Desember, 2004


Jakarta, 15 Desember 2004
Forum Pendamping Buruh Nasional

"Magel Tyala Kam..."

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/13/ekonomi/2806726.htm
lapangan kerja
"Magel Tyala Kam..."
Muhammad Chatib Basri

"Magel tyala kam" (siapa pun yang membutuhkan pekerjaan akan memperolehnya). Slogan bahasa India itu mungkin tak dikenal luas di negeri ini. Tapi, ia bukan sesuatu yang asing bagi mereka yang mendalami masalah penciptaan lapangan kerja bagi penduduk miskin.
Maharashtra Employment Guarantee Scheme (EGS) tentu saja yang saya maksud. Seperti namanya, program penyediaan lapangan kerja itu dilakukan di Maharashtra, India, sejak pertengahan tahun 1970-an. Intinya sangat sederhana, penyediaan pekerjaan bagi penduduk miskin.
Tak ada yang baru di sini. Saya pernah menyampaikan ide—yang sedang saya pelajari bersama Gustav Papanek, guru besar ekonomi dari Boston University—dalam satu diskusi di Kompas tahun lalu. Rasanya, ia semakin relevan ketika kita berhadapan dengan fakta bahwa keberhasilan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja masih amat terbatas.
Memang kita mencatat, stabilisasi makroekonomi telah berhasil meredam inflasi, mampu menstabilkan rupiah dan pasar keuangan. Namun, dampaknya pada penciptaan lapangan kerja belum terlalu menggembirakan, bila kita malu menyebutnya masih jauh.
Badan Pusat Statistik memang menunjukkan angka pengangguran terbuka pada bulan Februari 2006 (10,4 persen) menurun dibandingkan November 2005 (11,2 persen). Namun, kita perlu mencatat, angka pengangguran terbuka masih meningkat, walaupun dengan tingkat yang semakin kecil, dari 10,3 persen jika dibandingkan dengan Februari 2005. Artinya, pertumbuhan ekonomi memang mulai mengurangi tambahan penganggur, tetapi belum mampu sepenuhnya menyerap tenaga kerja baru, apalagi menurunkannya.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Yang paling ideal tentunya dengan memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi dalam paruh pertama tahun 2006 ini masih amat terbatas. Sektor riil belum sepenuhnya bergerak. Investasi mengalami penurunan, begitu juga konsumsi. Karena itu, penciptaan lapangan kerja melalui pertumbuhan ekonomi akan sangat terbatas dan membutuhkan waktu. Keynes menyebut: in the long-run we are all dead.
Alur berpikir ini nyaris menjadi mantra karena selalu diulang dalam setiap diskusi mengenai ekonomi Indonesia. Pertanyaan yang lebih krusial, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini?
Kita tahu harus ada solusi penciptaan lapangan kerja. Namun, solusi itu harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, program ini harus bersifat jangka pendek dan cepat memberikan hasil karena masyarakat tak mungkin lagi menunggu terlalu lama. Kedua, ia tak boleh mengganggu stabilitas makro dan kesinambungan fiskal. Ketiga, harus mencakup aspek keadilan, berpihak kepada yang miskin dan mereka yang memang membutuhkan pekerjaan. Keempat, layak secara administrasi.
Menarik untuk belajar dari pengalaman EGS di Maharashtra. Di sini pemerintah menyediakan lapangan kerja dalam periode waktu tertentu bagi penduduk miskin melalui program pembangunan infrastruktur desa, seperti irigasi dalam skala kecil, konservasi tanah, pembangunan jalan desa, atau program reforestation.
Mahendra Dev, ekonom dari India, menunjukkan bahwa program ini telah menurunkan tingkat pengangguran di Maharashtra, jauh lebih cepat dibandingkan pengangguran di seluruh India. Sebagai contoh, penganggur perempuan turun dari 11,7 persen (1972/73) menjadi 3,5 persen (1987/88), lebih besar daripada penurunan pengangguran perempuan di India, dari 11,2 persen tahun 1972/73 menjadi 6,7 persen tahun 1987/88.
Bagaimana dampaknya kepada kemiskinan? Dev, lagi-lagi, menunjukkan tingkat kemiskinan di Maharashtra menurun dari 60,6 persen (1972/73) menjadi 28,1 persen (1987/88). Bandingkan dengan keseluruhan India dari 44,8 persen (1972/73) menjadi 25,6 persen (1987/88). Hasilnya terlihat meyakinkan.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana menjamin pekerjaan itu hanya akan dinikmati oleh mereka yang miskin dan membutuhkan? Jawabannya cukup sederhana. Kompensasi yang diberikan pemerintah dalam program padat karya ini harus berada di atas garis kemiskinan, tetapi di bawah upah sektor pertanian atau upah minimum.
Implikasinya, hanya mereka yang miskin dan benar-benar tidak memiliki pekerjaan yang akan bekerja dalam proyek padat karya (cash for work) ini. Bagi mereka yang telah memiliki pekerjaan dengan upah minimum, atau bekerja di pertanian dengan upah tertentu, tentu secara logis tidak akan meninggalkan pekerjaannya untuk bekerja di proyek padat karya dengan kompensasi lebih rendah.
Beda BLT
Di sini, berbeda dengan program cash transfer atau bantuan langsung tunai, ia tidak dibutuhkan proses identifikasi penduduk miskin secara besar-besaran. Cash for work ini akan meningkatkan pendapatan pekerja pertanian dalam periode off-season ketika mereka yang tergolong miskin dan nyaris miskin harus mencari kerja untuk menyambung hidup. Ia juga dapat mencegah mereka untuk jatuh ke dalam garis kemiskinan, terutama di daerah yang mengalami kemunduran aktivitas ekonomi akibat bencana alam atau resesi.
Dengan ini kita tak sekadar memberikan uang, tetapi juga pekerjaan. Artinya, target pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan dapat dicapai.
Semudah itukah? Sejarah mengajarkan untuk selalu berhati-hati terhadap terobosan yang terkesan mudah dan fantastis. Pelaksanaannya tentu saja tak semudah uraian di atas.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dibahas secara ketat dan hati-hati. Misalnya soal kompensasi. Ravallion, Datt, dan Chaudhuri (1993) menunjukkan bahwa inti dari program ini adalah sampai sejauh mana pemerintah dapat bertahan dari tekanan populis untuk tidak memberikan kompensasi sejajar dengan upah di sektor pertanian atau upah minimum.
Seandainya tingkat kompensasi dinaikkan lebih tinggi dari upah minimum atau upah sektor pertanian, akan terjadi perpindahan pekerja dari sektor lain ke program padat karya ini. Akibatnya, identifikasi penduduk miskin menjadi lebih sulit dan program ini tak lagi dapat dinikmati penduduk miskin. Lebih jauh lagi, beban fiskal menjadi semakin berat.
Hal lain adalah risiko korupsi. Bagaimana menjamin dana yang dialokasikan untuk program ini tidak akan dikorupsi? Kita bisa belajar dari pengalaman program-program yang ada. Misalnya, melihat kemungkinan untuk memanfaatkan program Kecamatan Development Program (KDP) sebagai alat untuk program padat karya ini. Selain itu, seandainya ingin dijalankan, sebaiknya ia dimulai dari proyek percontohan. Dari sana ia dievaluasi dan kemudian diperluas.
Hal-hal teknis ini tentu perlu dibahas lebih jauh. Namun, satu hal penting, bahwa sudah saatnya lahir satu program nyata yang mampu menciptakan lapangan kerja dan membantu penduduk miskin.
"Magel tyala kam", slogan itu mungkin terkesan berlebihan. Tapi tak berlebihan bagi jutaan penduduk yang berteriak meminta pekerjaan dan ingin lepas dari kemiskinan.
Muhammad Chatib Basri Direktur LPEM-FEUI

Bank Dunia Desak Sepakati Perdagangan Global

http://www.suarapembaruan.com/News/2006/07/10/index.html
Bank Dunia Desak Sepakati Perdagangan Global

[WASHINGTON] Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz mendesak para pemimpin negara industri maju dari kelompok delapan (G8) serta Brasil, China, India, Meksiko, dan Afrika Selatan untuk segera menyepakati perjanjian dalam putaran negosiasi perdagangan ketika mereka bertemu di St.Petersburg, Rusia, 17 Juli mendatang.
Wolfowitz di Washington, Amerika Serikat, Senin pagi WIB menyatakan, pertemuan anggota G8 tersebut dan rencana sesi pertemuan dengan para pemimpin dari China, Brasil, India, Afrika Selatan, Meksiko, Uni Afrika, serta organisasi internasional lainnya,
"menawarkan kesempatan dan kita harus mendapatkan keuntungan darinya jika kita ingin membuat kemajuan dalam pembicaraan perdagangan Doha."
"Kita dapat mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan, meningkatkan pendapatan negara berkembang, akses pasar global, dan mengurangi pembayar pajak dan biaya konsumen untuk semuanya atau sebaliknya membiarkan semua upaya itu menjadi hancur berantakan dan merugikan semua orang," kata Presiden Bank Dunia.
Tenggat waktu mencapai perjanjian baru selalu gagal sejak putaran Doha diluncurkan pada 2001 dengan tujuan utama meningkatkan keuntungan dari perdagangan yang lebih bebas bagi negara-negara berkembang, termasuk batas akhir Desember 2004.
Wolfowitz menyatakan, para pendukung kemajuan hasil di St Petersburg akan memperoleh keuntungan baik bagi negara kaya maupun miskin. [Ant/N-3]

Koordinasi Lemah Menghambat

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/11/utama/2797502.htm
Paket Kebijakan
Koordinasi Lemah Menghambat

Jakarta, Kompas - Kalangan pelaku usaha memprihatinkan lemahnya koordinasi lintas sektoral di tubuh pemerintah maupun koordinasi pemerintah dengan DPR. Kelemahan ini dirasakan memperlambat implementasi beragam paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah.
Permasalahan tersebut kian mengundang keprihatinan karena terjadi di tengah tekanan pasar dalam negeri yang terus merosot akibat melemahnya daya beli, lambatnya investasi, serta realisasi belanja pemerintah yang masih rendah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengungkapkan keprihatinan itu di Jakarta, Senin (10/7). "Hambatan utama pelaksanaan paket-paket kebijakan justru birokrasi itu sendiri," katanya.
Sofjan mencontohkan, terkait dengan paket kebijakan perbaikan iklim investasi, pemerintah terkesan sudah mundur dari upaya revisi undang-undang ketenagakerjaan yang selama ini diharapkan pengusaha. Sementara yang terkait dengan paket kebijakan infrastruktur, belum terlihat upaya pemerintah mengemas proyek-proyek infrastruktur menjadi lebih diminati lembaga keuangan untuk dibiayai dan menarik bagi investor meskipun pertemuan infrastruktur akan digelar lagi bulan November 2006.
Di sisi lain, dukungan DPR untuk mempercepat implementasi paket-paket kebijakan dengan penyiapan regulasi juga terkesan amat kurang. Padahal, menurut Sofjan, DPR yang menyandang predikat wakil rakyat seharusnya mendorong dan membantu pemerintah mempercepat implementasi, bukan justru mengganjal dengan alasan prosedural atau prestise.
"DPR seharusnya lebih agresif dari pemerintah karena DPR tahu bahwa rakyat sedang diimpit kesulitan dan secepatnya membutuhkan penciptaan lapangan kerja baru," kata Sofjan.
Senada dengan Sofjan, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Mohamad S Hidayat dalam keterangan persnya menyampaikan harapan Kadin agar masalah prosedural tidak menjadi penghambat proses pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perpajakan di DPR.
Revisi RUU Perpajakan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewakili pemerintah dinilai Kadin sudah baik, karena telah mengedepankan tema pokok simplifikasi, daya saing, dan perbaikan sistem tata kelola, termasuk administrasi perpajakan.
Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini menjelaskan, permasalahan terjadi karena kurangnya komunikasi antara menteri dan DPR. Pemerintah tidak pernah memberikan informasi yang memadai pada kalangan DPR sebelum paket-paket kebijakan diluncurkan.
"Yang diperlukan adalah dialog dan lobi yang terbuka dan transparan, " kata Didik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani usai rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin, mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan Amanat Presiden yang memuat perubahan RUU Perpajakan terbaru.
Amanat Presiden ini akan segera disampaikan kepada pimpinan DPR sehingga pembahasan tentang RUU tersebut dapat dilanjutkan dan target pemerintah untuk menggunakannya pada tahun 2007 akan terlaksana.
Sebelumnya, Rapat Badan Musyawarah DPR pada 20 Juni 2006 memutuskan, perubahan RUU Perpajakan yang disampaikan Menteri Keuangan tidak sah karena tidak sesuai dengan mekanisme Dewan. Akibatnya, pembahasan RUU itu terhenti sementara.
Di sisi lain, penuntasan RUU Kepabeanan dan Cukai yang saat ini memasuki pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) juga terancam mundur. Kondisi itu disebabkan pemerintah bermaksud menambah isu baru dalam paket RUU tersebut, yakni pengaturan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI).
Keinginan pemerintah ini mengundang pertanyaan dari kalangan anggota Panitia Khusus RUU Kepabeanan dan Cukai. Anggota Pansus mempertanyakan konsep KEKI karena sebelumnya pemerintah sudah mengusulkan RUU Zona Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) yang hingga saat ini masih mengambang. Konsep terdahulu, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, makin tidak jelas nasibnya. (DAY/OIN)

Realisasi Paket Kebijakan Infrastruktur Tidak Berjalan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/11/ekonomi/2803690.htm
Iklim Investasi
Realisasi Paket Kebijakan Infrastruktur Tidak Berjalan

Jakarta, Kompas - Pembangunan infrastruktur, seperti di antaranya jalan, jembatan, pelabuhan, listrik, dan air bersih, melibatkan banyak instansi.
Untuk itu, paket kebijakan infrastruktur yang dicanangkan pemerintah membutuhkan regulasi dan koordinasi yang efektif agar program tersebut bisa direalisasikan lebih cepat dan tepat.
"Terus terang, yang kami utamakan dalam paket kebijakan infrastruktur adalah kebijakan atau regulasi. Sebab dengan kebijakan akan memudahkan kendali serta pengawasan pemerintah. Minimnya regulasi membuat realisasi paket kebijakan infrastruktur tak berjalan optimal," kata Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum (PU) Roestam Sjarief, seusai rapat kerja dengan Komisi V DPR di Jakarta, Senin (10/7).
Dalam paket kebijakan infrastruktur, Departemen PU, misalnya, ditugaskan menangani pembebasan lahan, pembenahan pengelolaan air minum, dan paket percepatan pembangunan jalan tol. Kelancaran realisasi program itu menuntut kemudahan proses pembebasan lahan.
Dalam proses pembebasan lahan, kendala yang dihadapi adalah harga yang ditetapkan dalam negosiasi selalu lebih mahal dari yang ditetapkan dalam rencana investasi.
Selain itu, waktu penyelesaian negosiasi pembebasan lahan cenderung lebih lama dari kesepakatan sebelumnya. Ketidakpastian harga dan waktu pembebasan lahan itu sering dipermasalahkan investor.
"Untuk itu, para investor menuntut pembagian risiko dalam pembebasan lahan. Artinya, pemerintah juga harus menanggung risiko atas peningkatan harga lahan dan lamanya waktu pembebasan lahan," kata Roestam.
Untuk mengatasi kasus tersebut, Departemen PU mengusulkan agar peningkatan harga tanah sebesar 10 persen dari harga yang telah disepakati dalam rencana bisnis ditanggung investor.
Sebaliknya, kalau harga itu melebihi 10 persen menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Pemikiran ini tak bisa direalisasikan Departemen PU, tetapi membutuhkan regulasi yang dapat ditaati dan mengikat semua pihak. Itu yang selalu kami tunggu selama ini," ujar Roestam.
Mengenai realisasi paket kebijakan infrastruktur, Roestam mengatakan, Departemen PU telah melakukan beberapa kemajuan dalam paket jalan tol.
Hal itu tampak dari tender investasi jalan tol, disusul dengan pelaksanaan perjanjian pengusahaan antara pemerintah dan investor. Saat ini sudah tujuh perjanjian pengusahaan jalan tol yang ditandatangani. Ketujuh ruas itu merupakan hasil tender investasi pada tahun 2005.
"Kendati demikian, kami tetap membutuhkan regulasi yang mengatur pembagian risiko kelebihan harga tanah yang dibebaskan bagi proyek infrastruktur untuk kepentingan umum," ujar Roestam Sjarief. (JAN)

Daya Koperasi Mengatasi Kemiskinan

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/12/opini/2804970.htm
Daya Koperasi Mengatasi Kemiskinan
Oleh : Martaja


Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik mengungkapkan, 17,2 persen (37,4 juta) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah mereka yang hidup sedikit di atas angka itu lebih banyak.
Salah satu solusi mengatasi kemiskinan adalah melalui pemberdayaan koperasi. Koperasi juga tahan terhadap krisis ekonomi nasional sebab tak bergantung pinjaman, impor, apalagi dollar.
Agar koperasi mampu mengatasi kemiskinan, pemerintah harus membebaskannya bergerak leluasa dalam aneka sektor tanpa diboncengi kepentingan politik.
Dalam artikel Co-operatives as a Global Movement, Direktur International Cooperative Alliance (ICA) Bruce Thodharson mengkritik berbagai jenis koperasi yang tidak berkembang karena meninggalkan jatinya, bahkan mengecam intervensi pihak luar.
Guna memacu pengembangan koperasi, berbagai penelitian dan pelatihan koperasi harus segera digerakkan guna mengembalikan jati diri koperasi dan bebas dari campur tangan dan aneka kepentingan politik.
Upaya konkret
Memberdayakan koperasi untuk mengikis kemiskinan terkait penertiban koperasi. Saat ini gejala perkembangan koperasi menunjukkan tidak sehat. Akibatnya, pengembangannya tidak optimal, tak sesuai jati dirinya. Di Indonesia terjadi polarisasi jenis koperasi (minimal ada 37 jenis). Padahal, dalam UU No 25/1992 tentang Perkoperasian, Pasal (16) menggariskan hanya ada empat jenis koperasi, yaitu koperasi konsumsi, koperasi produsen, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa.
Polarisasi jenis koperasi ini menyebabkan proses pembinaannya lebih sulit karena masing-masing jenis memiliki karakteristik jenis usaha berbeda.
Koperasi-koperasi yang telah menyimpang dari peraturan dan perundang-undangan perlu belajar pada koperasi yang sudah maju. Koperasi Jembatan Kesejahteraan misalnya, berkembang saat krisis melalui jaringan ritel skala mikro, ditopang akses kredit mikro dengan pemanfaatan teknologi informasi (TI), dengan omzet ratusan miliar rupiah.
Tingginya omzet bukan menjadi perhatian, tetapi yang lebih penting pendayagunaan TI dalam proses karena mampu meningkatkan kapasitas bisnis sehingga kompetitif dalam merebut pasar. Koperasi semacam ini memiliki daya saing dalam memasuki pasar bebas dengan mengedepankan keunggulan kompetitif dibanding keunggulan komparatif.
Program Aksi Pemberdayaan Usaha Skala Mikro, termasuk koperasi, berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat dalam usaha ekonomi sektor informal berskala mikro. Terutama yang berstatus keluarga miskin dalam rangka mendapat penghasilan tetap melalui peningkatan kapasitas usaha sehingga menjadi unit usaha mandiri, berkelanjutan, siap tumbuh, dan berdaya saing. Hal ini harus didukung program dari lembaga penyedia jasa pengembangan usaha yang berkualitas guna meningkatkan akses koperasi atas pasar dan sumber daya produktif.
Kerja sama
Pemberdayaan koperasi amat relevan bagi pengentasan kemiskinan karena segala aktivitasnya bernapaskan kekeluargaan. Implikasinya, kerja sama antaranggota harus menjadi salah satu prinsip koperasi. Kerja sama di sini bukan hanya didasari pengertian, pemilik koperasi sekaligus pelanggan, tetapi juga harus memberi layanan kepada anggota seefektif mungkin. Maka, kerja sama harus diberdayakan. Pemberdayaan harus dimulai dengan meningkatkan mutu SDM guna menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian di antara anggota.
Sikap keswadayaan dan kemandirian harus dikoordinasi koperasi guna meredam konkurensi yang bisa timbul antaranggota sehingga secara bertahap dapat diubah menjadi jalinan kerja sama, saling membantu, dan mendukung di antara mereka.
Kekuatan koperasi justru pada eratnya kerja sama di antara anggota sekaligus sebagai senjata ampuh menghadapi ulah tengkulak dan kapitalis.
Kerja sama dapat ditingkatkan menjadi kemitraan di antara aneka koperasi yang tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga antarnegara. Kemitraan ini berpotensi meningkatkan daya saing guna mencapai skala usaha yang kian ekonomis. Prinsip kerja sama dalam koperasi mengandung substansi, kerja sama ini didasarkan rasa solidaritas bersama demi kemajuan gerakan koperasi.
Jadi, eksistensi koperasi memiliki peran strategis dalam mengikis kemiskinan, bahkan kemajuan koperasi harus dirasakan masyarakat sekitarnya. Koperasi terus dituntut memberi manfaat besar, mengingat misi koperasi adalah memajukan kesejahteraan anggota. Di sisi lain, koperasi merupakan wujud asosiasi masyarakat yang menjadi anggotanya.
Maka sudah sepantasnya segenap pengurus koperasi memiliki rasa tanggung jawab moral maupun sosial untuk memperbaiki taraf hidup ekonomi masyarakat sekelilingnya. Bila masyarakat Indonesia berjiwa koperasi dan koperasi yang dijalankan sesuai prinsip itu, hal ini memberi kontribusi besar bagi pengurangan jumlah keluarga miskin secara signifikan, sekaligus membantu mengatasi masalah pengangguran yang hingga kini terus membengkak.
Martaja Alumnus Australian National University

Iklim Investasi di Kota Bekasi Dinilai Masih Buruk

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/12/metro/2806002.htm
Iklim Investasi di Kota Bekasi Dinilai Masih Buruk

Bekasi, Kompas - Sebagai kota yang bervisi kota perdagangan dan kota jasa, iklim investasi di Kota Bekasi dinilai masih buruk. Kondisi itu dipengaruhi beberapa hal, dua yang terutama adalah hambatan birokrasi dalam pelayanan perizinan dan belum adanya kepastian hukum bagi investor yang telah mengantongi izin investasi.
Hal itu diungkapkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi dalam pandangan umum fraksi atas laporan keterangan pertanggungjawaban Wali Kota Bekasi tahun 2005 dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Bekasi, Selasa (11/7).
Dalam penyampaian pandangan umum fraksi kemarin, perwakilan Fraksi PKS, Eka Widyani Latief, mengatakan, iklim investasi di Kota Bekasi kurang kondusif dan itu dibuktikan dengan banyaknya keluhan tentang sulitnya berinvestasi di Kota Bekasi.
Meski demikian, Fraksi PKS menyatakan apresiasi mereka atas membaiknya kinerja Pemerintah Kota Bekasi dalam pencapaian target rencana strategis pembangunan Kota Bekasi.
Ditemui di sela-sela rapat paripurna kemarin, Ketua Fraksi PKS Wahyu Prihantono mengungkapkan, sejumlah kasus menunjukkan bahwa kinerja Pemerintah Kota Bekasi belum optimal dalam hal membangun iklim investasi di Kota Bekasi. Kasus-kasus itu antara lain terhambatnya proses pembangunan Pasar Pondok Gede dan mengambangnya pembangunan kawasan Blue Oasis City.
"Keluhan yang paling sering kami terima adalah masalah birokrasi perizinan yang sangat mahal dan berbiaya tinggi, serta tidak adanya kepastian hukum bagi investor meski mereka sudah memiliki izin berinvestasi di Kota Bekasi," kata Wahyu, kemarin siang. "Kondisi ini ironis karena visi Kota Bekasi adalah kota unggul dalam jasa dan perdagangan," ujar Wahyu lagi.
Hal lain yang menjadi sorotan beberapa fraksi adalah buruknya kondisi jalan dan kemacetan di Kota Bekasi. (cok)

Industri Turun 20 Persen

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/12/jatim/54829.htm
Makanan dan Minuman
Industri Turun 20 Persen

Surabaya, Kompas - Omzet para pelaku usaha di bidang industri makanan dan minuman atau mamin di Jawa Timur selama Juni 2006 mengalami penurunan 10 persen - 20 persen akibat sepinya permintaan.
Beberapa bulan sebelumnya permintaan produk mamin naik 10 persen akibat bencana gempa bumi di DI Yogyakarta, yang menyebabkan industri di sana tidak berproduksi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Jatim Yapto Willy Sinatra hari Selasa (11/7) mengatakan, penurunan permintaan terhadap produk mamin terjadi akibat banyaknya siswa yang libur sekolah.
"Sebagian besar konsumen kami, baik industri kecil, menengah, maupun besar, adalah anak sekolah. Jika mereka libur, permintaan pun ikut berkurang," katanya.
Ia menambahkan, saat ini sebagian besar orangtua memperketat ikat pinggang untuk pengeluaran konsumtif seperti mamin. Mereka lebih memprioritaskan berbelanja peralatan sekolah dan membayar uang pendaftaran.
Menurut Yapto, mamin merupakan sektor industri yang sangat rentan terhadap perubahan di sekitarnya. Mulai 1 Juli 2006 industri mamin digempur kenaikan harga bahan bakar industri sebesar 5,3 persen.
Padahal, komposisi bahan bakar minyak dalam biaya produksi industri mamin mencapai 20 persen lebih, bahkan bisa mencapai 25 persen sehingga mengganggu pengeluaran.
Naiknya harga gula di pasar pun turut memengaruhi industri mamin karena kebutuhan gula rata-rata mencapai 10 persen - 15 persen dari total biaya produksi. Gempuran ditambah produk mamin impor yang membanjiri pasar dengan harga jauh lebih murah. (NIK)

Thursday, September 07, 2006

Kedudukan Perempuan dalam sosio budaya Indonesia



Dimuat dalam Jurnal FPBN Edisi III

POTRET PEREMPUAN DALAM OTONOMI DAERAH

Oleh

Edriana Noerdin

Women Research Institute

Latar Belakang

Pemerintah Republik Indonesia telah membuat Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, akan tetapi penerapan Konvensi tersebut sangat lemah karena terbentur pada relativisme nilai yang berlaku di Indonesia (Katjasungkana dan Hadiz, TT, h. 21). Penjelasan UU No. 7 tahun 1984 menyatakan bahwa “…dalam pelaksanaannya ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat-istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.” Kewajiban untuk menyesuaikan pelaksanaan Konvensi dengan norma sosial yang berlaku di Indonesia tetap menempatkan perempuan Indonesia pada posisi yang didefinisikan oleh norma sosial. Fungsi Konvensi yang sesungguhnya adalah tawaran perubahan atas norma sosial yang dianggap merugikan suatu kelompok dan menyalahi azas kemanusiaan. Jika Konvensi ini sejak awal disahkan sudah dinyatakan inferior terhadap norma sosial yang berlaku, maka kemampuannya untuk menawarkan perubahan sangatlah bergantung pada definisi yang ditentukan oleh norma sosial. Pernyataan inferioritas UU No. 7 Tahun 1984 terhadap norma sosial yang berlaku, sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Ratifikasi kovensi tersebut tadinya diharapkan menjadi sebuah intervensi yang mampu mengubah tatanan politik nasional karena mempertimbangkan keterlibatan perempuan, pihak yang selama ini tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam menjalankan institusi politik. Perubahan yang diharapkan bukan semata pada jumlah perempuan yang terlibat dalam lingkar pengambil keputusan, akan tetapi juga pada representasi kepentingan dan kebutuhan perempuan yang juga menjadi aktor dalam penyelenggaraan politik tersebut. Sehingga masalah keterwakilan perempuan menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini.

Tingkat keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal baik di tingkat nasional maupun lokal besar pengaruhnya terhadap kehidupan perempuan. Hal ini disebabkan karena kehidupan perempuan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga politik formal. Kondisi yang sedemikian itu sangat ditentukan oleh siapa yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, perspektif apa yang digunakan serta ideologi apa yang tersembunyi di balik kebijakan publik yang diberlakukan. Oleh karena itu, perlu dikaji secara komprehensif dan mendalam tentang peran dan posisi perempuan dalam partisipasi dan keterwakilan dalam politik dan kebijakan publik di era otonomi daerah.

Representasi Peran Perempuan dalam Politik

Peran perempuan sebagai warga negara direpresentasikan sebagai ibu dan istri, karenanya peran sebagai pekerja tidak menjadi prioritas dan berada di bawah perannya yang sebagai ibu dan istri. Haknya pun diterapkan sesuai dengan definisi/representasinya ini, yakni bukan menjadi pemimpin, akan tetapi menjadi pendamping (istri), pembantu (sekretaris) dan pemelihara (seksi konsumsi, PKK).

Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi minoritas.

Dengan mencermati berbagai aturan di tingkat nasional dan internasional yang berkaitan dengan partisipasi politik perempuan dalam pengambilan keputusan, maka peraturan daerah pun tentunya harus merujuk pada aturan-aturan tersebut di atas. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa perempuan di negara-negara berkembang yang sedang menjalankan proses desentralisasi tetap termarjinalkan oleh pemerintah lokal.

Representasi Perempuan dalam Politik Lokal

Partisipasi perempuan dalam politik lokal tidak terumus secara jelas dalam teks peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal sangat minim, seperti yang telah kami gambarkan diatas. Perempuan hanya memiliki sedikit akses untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pembuatan peraturan daerah.

Perda No. 14 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi yang sepertinya merepresentasikan peran domestik perempuan, yaitu perempuan dilibatkan pada sektor kesejahteraan sosial. Peran publik perempuan dinyatakan sebatas keterlibatan dalam organisasi sosial atau organisasi perempuan. Pada Rincian Kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi di Bidang Sosial, kewenangan pemerintah dalam masalah Pemberdayaan Perempuan yang tercantum dalam Perda ini adalah usaha untuk mendukung perempuan meningkatkan usaha keluarga, untuk menjadi pemimpin di bidang Kesejahteraan Sosial dan pemberian peran serta wanita dalam pembangunan. Gender dalam bagian Perda ini didefinisikan sebagai “pemberian peran serta wanita dalam pembangunan”.

Kota Sukabumi dipimpin oleh walikota perempuan pertama di Jawa Barat dan memiliki begitu banyak perempuan yang mengisi jabatan struktural yang cukup berpengaruh. Namun kepemimpinan walikota perempuan tidak begitu saja menjamin bahwa pemerintahan diselenggarakan dengan perspektif gender. Salah satu contoh adalah cara pemerintah kota Sukabumi bertindak dalam menanggulangi kematian ibu, karena Angka Kematian Ibu (AKI) di Sukabumi merupakan yang tertinggi di seluruh Jawa Barat. Pada tahun 2001 tercatat 390 ibu meninggal dari 100.000 kelahiran hidup. Meskipun masalah ini dapat diidentifikasi oleh pemerintah setempat, akan tetapi penanganannya tidak menjadi prioritas.

Tidak adanya rumusan yang eksplisit mengenai peran politik perempuan menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting atau mendesak untuk dikemukakan dan dilakukan. Daerah yang memiliki Kepala Daerah perempuan pun, tidak serta merta menghasilkan Perda yang didasarkan pada kepentingan perempuan dan terutama yang menyangkut perubahan representasi perempuan baik yang domestik maupun yang publik. Bagaimana hal itu dalam hukum lokal?

Rumusan Perempuan dan Kebijakan Publik Lokal

Rumusan tentang perempuan dalam kebijakan publik lokal yang dimaksud disini adalah rumusan Perda yang mengatur aktivitas perempuan dan penampilan perempuan dalam wilayah publik. Isu-isu yang menarik dan muncul di setiap daerah tidak sama. Meskipun demikian, ada beberapa kesamaan isu yang mengemuka hampir di semua wilayah penelitian. Untuk lebih jelasnya, berbagai temuan itu dikategorikan dalam hal-hal berikut:

Adalah menarik mencermati Qanun Kota Banda Aceh No. 7 Tahun 2002 yang mengatur tata cara pemilihan Geucik (kepala kampung). Ketertarikan itu semakin bertambah ketika membaca bab 3, pasal 8 ayat (1) tentang persyaratan menjadi Geucik. Ada empat belas persyaratan yang harus dipenuhi oleh kandidat Geucik, dan yang tertulis dalam point Mampu bertindak menjadi imam shalat: Sementara itu, dalam hukum islam dalam perspektif masyarakat umum, hanya laki-lakilah yang dapat menjadi imam shalat bagi perempuan dan laki-laki, sedangkan perempuan tidak dapat menjadi imam shalat bagi laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak memiliki peluang untuk menjadi Geucik dan sekaligus menegaskan bahwa kekhawatiran akan menguatnya kekuasaan yang mengabaikan perempuan bukannya tidak beralasan. Hal itu dapat diinterpretasikan bahwa dalam pemilihan Geucik, perempuan mengalami diskriminasi. Cara interpretasi ini sekaligus menunjukkan bahwa dengan diberlakukannya peraturan daerah, nilai-nilai patriarki lokal menguat. Ini artinya, yang pada satu sisi ruang publik perempuan menjadi tertutup.

Kenyataan itu mendorong hadirnya pertanyaan, “Apa sebenarnya yang memicu tertutupnya ruang publik perempuan?” Pertama, tertutupnya ruang publik perempuan itu bertolak dari persoalan representasi manusia, termasuk representasi perempuan sebagai produk budaya. Kedua, interpretasi atas produk budaya yang berkaitan dengan representasi manusia, termasuk hak asasi perempuan dipengaruhi oleh nilai sosial, budaya, dan agama. Hal itu sejalan dengan temuan Drage (1999) yang menyatakan bahwa interpretasi atas hak asasi perempuan dipengaruhi oleh nilai sosio-kultural dan agama.

Selanjutnya, peraturan daerah tersebut merupakan salah satu bukti bahwa keberadaan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memicu pembuatan peraturan daerah-peraturan daerah (Perda) di seluruh wilayah Indonesia.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 butir satu menyatakan, “Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah”. (Bratakusumah dan Solihin, 2002, h. 4). Oleh karena itu, salah satu persyaratan untuk menjadi Geucik diatas, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial.

Perempuan dan Kesusilaan

Di banyak daerah, Perda yang mengatur tentang kesusilaan muncul. Misalnya, Perda No. 10 Tahun 2001 (Sukabumi), Perda No. 1 Tahun 2000 (Tasikmalaya), Perda No. 2 Tahun 2002 (Bali), Perda No. 11 Tahun 2001 (Solok), dan Perda No. 39 Tahun 1999 (Kupang).

Rumusan Perda-Perda tersebut, meskipun bersifat netral gender, akan tetapi pada praktiknya cenderung ditujukan pada perempuan. Misalnya, Perda No. 10 Tahun 2001 tentang Pelarangan Pelacuran yang dibuat di Sukabumi pada bab I pasal 1 ayat (4) tentang definisi pelacuran ataupun Perda No. 1 Tahun 2000 di Tasikmalaya bab I pasal 4 berikut: ”Siapapun yang kelakuannya dapat diidentifikasi bahwa ia pelacur, dilarang ada di jalan-jalan umum, di lapang-lapangan, di rumah penginapan, hotel, losmen,... berhenti atau berjalan kaki atau berkendaraan kian kemari.”

Hal senada diungkap dalam Perda No. 2 Tahun 2002 bab I pasal 1 di Bali berikut ini: “Pelacuran adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik perempuan maupun laki-laki, yang dengan sengaja menjajakan diri” Hal serupa pun diungkap oleh Perda No. 39 tahun 1999 pasal 1 butir (e) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kupang berikut ini.” Pelacuran adalah perilaku hubungan seksual yang dilakukan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki atau lebih dengan siapa saja yang membutuhkan pemuasan keinginan seksual dengan imbalan pembayaran”.

Rumusan definisi pelacuran yang tertuang dalam Perda-Perda diatas terlihat netral gender. Akan tetapi dalam praktik pelarangan pelacuran, perempuan senantiasa yang menjadi objek sasaran sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa harian surat kabar: “10 Sengseong kota Sukabumi masuk panti rehabilitasi WTS Cibadak” (Pakuan, 17-19/11/2001, h.1-3), “28 WTS dijaring petugas” (Pakuan, 13-14/9/2001, h. 4) Kedua berita itu diperkuat oleh NTB Post (4/2/2002, h. 3) dengan judul “Polra Siap Amankan WTS dan Kericuhan Lingkup Pemkab.” Ketiga berita itu menunjukkan bahwa wanita tuna susila (WTS) merupakan objek dari Perda kesusilaan, sedangkan lelaki tuna susila (LTS) tidak dianggap demikian. Hal itu menunjukkan bahwa ternyata dalam hal persoalan pemberantasan pekerja seks yang selalu menjadi sasaran adalah para pekerja seks perempuan saja, sedangkan pelaku seks laki-laki tetap bebas berkeliaran mencari mangsa lainnya.

Perempuan dan Tenaga Kerja

Contoh Perda yang mengatur perempuan dan tenaga kerja muncul di Mataram, sedangkan di daerah lain, hal itu tidak mengemuka. Mataram termasuk salah satu daerah pengirim tenaga kerja Indonesia yang terbesar ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Cina dan Taiwan untuk bekerja sebagai buruh pabrik dan perkebunan, pembantu rumah tangga atau supir. Majalah Tempo Interaktif bahkan menyebut jumlah tenaga kerja wanita yang berasal dari Mataram termasuk paling tinggi di Indonesia (Tempo Interaktif, 13/1/2004). Di Mataram ada tiga Perda yang berkaitan dengan ketenaga-kerjaan yaitu, Perda No. 7 Tahun 2002 mengenai Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan, Perda No. 7 Tahun 2002 tentang Retribusi Ijin Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Perda No. 9 Tahun 2002 mengenai Retribusi Ijin Ketenagakerjaan.

Perda No. 7 Tahun 2002 mengenai Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan, maksud pelayanan ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kesejahteraan, perluasan lapangan kerja. Peningkatan kualitas SDM tenaga kerja bertujuan memberikan jaminan perbaikan kualitas SDM tenaga kerja dan mempengaruhi peningkatan produktivitas perusahaan. Banyaknya kasus TKI, khususnya TKW yang mencari pekerjaan di luar daerah Mataram dan mengalami banyak tindak kekerasan menunjukkan bahwa di Pemerintah Kota Mataram sendiri hingga saat ini belum sepenuhnya melakukan perlindungan kesejahteraan dan perluasan lapangan kerja yang dapat menjamin dan menampung warganya, sehingga mereka tidak perlu mencari nafkah ke luar negeri.

Perda No. 9 Tahun 2002 mengenai Retribusi Ijin Ketenagakerjaan. Pemberian ijin dimaksudkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap orang pribadi atau badan hukum yang bergerak di bidang ketenagakerjaan dan sekaligus memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk memungut retribusi. Perda ini tidak sejalan dengan apa yang dikeluhkan masyarakat. Banyak sekali butir-butir peraturan yang menguntungkan pengusaha jasa tenaga kerja. Perempuan yang menjadi TKI kian hari tambah banyak dan bertambah pula persoalan yang menyertai kemalangan mereka. Mulai dari penipuan calo, pembatalan pemberangkatan sampai pada pelecehan seksual yang berbentuk perkosaan menjadi keluhan yang tidak asing lagi dan menjadi nyanyian panjang para perempuan pencari kerja di luar negeri. Jadi di sini tidak termuat secara jelas butir-butir hak TKI/TKW dan sanksi bagi PJTKI yang melanggar dan tidak membayar kewajibannya.

Perda yang dibuat oleh pemerintah Mataram yang ditemukan selama penelitian ini adalah yang mengatur retribusi terhadap penyedia jasa penyaluran tenaga kerja Indonesia. Pemerintah Mataram belum mempertimbangkan pembuatan peraturan yang berisi aturan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Perspektif gender sangat dibutuhkan dalam melihat persoalan tenaga kerja Indonesia yang di satu sisi mendatangkan devisa dan juga pendapatan daerah yang bersumber dari retribusi, akan tetapi menimbulkan tuntutan adanya aturan perlindungan bagi tenaga kerja. Kepekaan gender akan membuat pemerintah Mataram lebih teliti melihat persoalan tenaga kerja dan mampu mengidentifikasi jenis kekerasan spesifik yang terjadi terhadap perempuan dan karenanya mampu mengantisipasinya.

Beberapa persoalan yang dikemukakan diatas hanya sebagian kecil dari persoalan yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya. Otonomi daerah yang seharusnya merupakan peluang untuk meningkatkan posisi dan kondisi perempuan ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?