Monday, September 01, 2008

Disain Hukum Perburuhan: Antara Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 8, Sept '07 - Maret '08


Disain Hukum Perburuhan: Antara Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar[1]


R. Herlambang Perdana Wiratraman

Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia

Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Pengantar

Gempuran para pendukung neo-liberal terhadap perubahan politik hukum perburuhan di Indonesia kian sistematik, rapi dan dikemas dalam strategi yang mampu memistifikasi kekuasaan dan kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi. Skenario demikian bisa terlihat dari gelombang tekanan reformasi bidang perburuhan telah masuk sejak masa-masa awal krisis finansial melanda Asia Timur dan Asia Tenggara 1997an, dan tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan pula terjadi di negara-negara sebagai korban krisis tersebut.

Gelombang paling muktahir adalah rencana revisi Pemerintah Indonesia atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ditargetkan tuntas pada pertengahan tahun 2006 lalu, tetapi gagal. Penundaan revisi disertai dengan upaya untuk “menggali” lebih dalam sekaligus mengkaji kebijakan perburuhan, yang dioutsourcingkan melalui 5 (lima) perguruan tinggi, Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) dan Universitas Hasanuddin (Makkasar). Mereka menyebut dirinya sebagai Tim Kajian Independen.[2] Tentu, kehadiran kampus sebagai organ intelektual formal, apalagi dipenuhi dengan anggota tim yang meliputi sebagian besar gelar guru besar dan doktoral, merupakan persinggungan antara kekuatan pengetahuan dan kekuasaan, sangatlah dominan mempengaruhi diskursus “kebenaran” (baca: skenario pembenaran) tekstualitas politik hukum neo-liberal dalam kebijakan perburuhan.

Perlu untuk tidak dilupakan, bahwa mesin kampus senantiasa dipergunakan dalam rangka mendesakkan kebijakan apapun, apalagi bagi kebijakan yang merupakan kepentingan dominan penguasa politik ekonomi tertentu. Dan itulah, metode paling gampang untuk menegaskan klaim kebenaran, melalui jargon-jargon ‘akademik’, ‘independen’, atau yang lainnya.

Tanpa perlu terjebak untuk melanjutkan retorika klaim kebenaran tersebut, perlu kiranya bagi elemen gerakan untuk berpolitik, membongkar diskursus dalam kebijakan perburuhan, termasuk memperjuangkan alternatif posisi rakyat, utamanya kaum buruh untuk mendesakkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak bagi kaumnya sendiri.

Tulisan ini ditujukan untuk memberikan dukungan argumentasi hukum terhadap disain hukum perburuhan yang lebih berpihak terhadap penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, di tengah kepungan kebijakan informalisasi ketenagakerjaan dalam paradigma liberalisasi pasar. Pertanyaan kunci dalam tulisan berikut adalah, apakah pilihan hukum dalam disain hukum perburuhan alternatif yang lebih berpihak pada hak-hak buruh dalam konteks masifnya informalisasi ketenagakerjaan? Tinjauan tulisan ini didasarkan pada analisis politik ekonomi yang melatarbelakangi lahirnya teks-teks hukum.

Hukum dan Buruh: Logika Kapitalisme

Secara falsafati, hukum dibentuk untuk melindungi yang lemah! Hukum memang bagian dari produk politik kekuasaan dominan yang ada saat pembentukannya, namun secara prinsip bahwa kehadiran kekuasaan tersebut tidaklah serta merta menggampangkan penegasian hak-hak rakyatnya. Karena itulah, sebenarnya melekat nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan untuk melindungi hak-hak kaum yang lemah.

Begitu juga hakekat hukum buruh, mestinya ditujukan untuk melindungi buruh itu sendiri. Namun dalam kenyataannya tidak demikian. Hukum dalam konteks kebijakan perburuhan lebih memperlihatkan kontradiksi atas jaminan perlindungan hak-hak kaum buruh. Dalam perspektif Marxian, logika kapitalisme telah memasuki dimensi sosial, hukum dan hubungan kekuasaan politik yang mendukung eksploitasi buruh.

Dengan situasi demikian, bentuk eksploitasi kapitalisme memiliki bentuk yang berbeda dengan perbudakan, dimana di bawah relasi-relasi sosial kapitalis, eksploitasi mengambil bentuk dari suatu bentuk kontrak: buruh dan majikan dibebaskan masuk untuk membentuk persepakatan yang mengikat secara hukum atas perjanjian-perjanjian upah yang menentukan sekaligus pertanggungjawaban bersama (Turkel 1996: 72). Hukum memberikan jaminan atas ruang-ruang eksploitasi, sehingga hukum pada perkembangannya memiliki sumber-sumber alienasi dan kekerasan atas hak-hak asasi manusia. Singkatnya, hukum menjadi alat legitimasi atas kepentingan dominan kekuasaan, utamanya dalam bagian ini sebagai pendorong kapitalisme yang sangat vulgar mengeksploitasi dan mengalienasi hak-hak buruh.

Di tengah prosesi demokrasi elektoral yang kian manis di sejumlah Negara-negara Selatan atas dukungan Negara-negara Utara, melahirkan sirkuit politik ekonomi baru yang kian terlegitimasi dengan bingkai pembaruan politik yang tidak lagi bercermin pada otorianisme. Ketatapemerintahan otoritarianisme yang tidak lagi sesuai dengan kepentingan pasar, dibonsai dengan ‘ketatapemerintahan yang baik’ (good governance). Harapannya, lahir kepercayaan pasar atas kepemimpinan politik yang konsisten mengabdi pada paradigma neo-liberal. Oleh sebabnya tidak begitu mengherankan bahwa good governance sama sekali tidak memperbincangkan krisis mendasar dari kebijakan politik yang jelas dan nyata menindas kepentingan rakyat. Good governance dalam konteks demikian telah mengalienasi hak-hak asasi manusia (Wiratraman 2006a).

Disain ‘ketatapemerintahan yang baik’ diharapkan melahirkan aturan main yang pasti dalam soal hukum, sehingga kompetisi liberal akan sangat mendukung terciptanya pasar yang efektif. Dengan harapan (pasar) demikian, the Rule of Law menjadi primadona diskursus untuk menggusur the Rule of Man, persis seperti yang diharapkan oleh penganjur pilar-pilar supremasi hukum (Supremacy of Law) dan persamaan di muka hukum (Equality before the Law).

Meskipun demikian, bila diperhatikan benar bahwa apa yang terucap sama dalam diskursus dominan the Rule of Law sesungguhnya beda tipis dengan the Rule of Capital. Keduanya bisa dipersandingkan dan dipertukarkan tanpa keraguan untuk menjawab hukum-hukum yang menopang kepentingan liberalisasi pasar. Uniknya, tanpa kesadaran kritis (baik pemerintah, buruh dan akademisi) terhadap persandingan diskursus keduanya, sama halnya melibatkan diri pada kekuatan yang bekerja untuk kekuasaan kapital.

Itu sebabnya, menurut Zinn (1971), the Rule of Law tidak ubahnya seperti suatu jenis konspirasi, yang berwujud topeng atas sumber-sumber kebenaran kekuasaan dalam masyarakat. Logika kapitalisme dalam hukum kini telah begitu gampang ditemui di tengah wacana globalisasi yang menampakkan dominasi kebijakan liberalisasi pasar. Artinya, globalisasi yang kita hadapi sekarang ini berpotensi untuk menyingkirkan hak-hak asasi manusia dan sekaligus melanggengkan hubungan eksploitatif manusia atas manusia dengan cara yang kian sistematik melalui hukum opresif (legalized human rights violation).

Pergulatan Disain Hukum

Sejak bangsa ini merdeka, disain hukum perburuhan yang dimiliki telah memberikan perlindungan yang cukup baik. Perundang-undangan buruh ini bisa terlihat dari sejumlah produknya, meliputi: UU No.33 Tahun 1947 (Undang-Undang Kecelakaan), UU No. 12 Tahun 1948 (Undang-Undang Kerja), UU No. 23 Tahun 1948 (Pengawasan Perburuhan), UU No. 21 Tahun 1954 (Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan), UU No. 18 Tahun 1956 (Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama), UU No. 22 Tahun 1957 (Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) dan UU No. 12 Tahun 1964 (Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta).

Meskipun peraturan perundang-undangan tersebut cukup memadai, namun dalam prakteknya sepanjang sejarah rezim otoritarian militer Soeharto telah dinegasikan implementasinya. Tumbangnya Soeharto di awal masa krisis finasial 1998, bukan berarti kebijakan perburuhannya menjadi lebih baik, tetapi justru kian mendapat tekanan neo-liberal yang sebenarnya pula mengambil keuntungan dari kejatuhan rezim tersebut. ‘Era reformasi’ telah memberikan jalan lapang bagi kemudahan proponen neo-liberal untuk memasuki secara lebih terlegitimasi dalam sistem politik dan hukum Indonesia. Salah satunya melalui Legal Framework for Development (Kerangka Hukum untuk Pembangunan) yang demikian dominan dipengaruhi oleh Bank Dunia. Muatan kerangka hukum tersebut tak ubahnya teks-teks opresif bagi buruh.

Ada sejumlah teks-teks hukum opresif yang bisa dicermati dari disain pembaruan hukum buruh. Teks hukum opresif dimaknai sebagai arus dominan paradigma neo-liberal yang dimaterialisasikan melalui pasal-pasal khusus untuk melegalisasi praktek eksploitasi manusia atas manusia.

Dalam konteks hukum perburuhan di Indonesia, aturan demikian bisa dikritisi dari kebijakan labour market flexibility (LMF-kelenturan pasar buruh), yang meliputi pengupahan dan upah minimum, PHK, ketentuan pesangon, outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pembatasan hak-hak berserikat dan mogok. Tentu, ketentuan yang disebutkan ini hanyalah sebagian dari sistem yang bekerja dalam kebijakan dengan paradigma neo-liberal, karena liberalisasi pasar tidaklah sekadar masuk di sektor buruh, namun pula sektor-sektor lainnya seperti privatisasi badan usaha milik Negara (telekomunikasi, listrik, perkebunan, pengelolaan air) dan penarikan subsidi sektor strategis yang berpengaruh terhadap kebutuhan dasar warga (pendidikan, kesehatan, bahan bakar minyak). Hal demikian merupakan paket kebijakan ekonomi internasional yang didominasi institusi keuangan internasional, disebut sebagai ’konsensus Washington’, dengan mantra privatisasi (privatization), perdagangan bebas (free trade), pertumbuhan berorientasi eksport (export-led growth), mobilitas modal keuangan (financial capital mobility), pasar-pasar buruh yang dideregulasi (deregulated labor markets), dan kebijakan penghematan makro-ekonomi (macro-economic austerity) (Wiratraman 2006a, 2006b). Oleh sebab itu, pengurangan beban kapital dengan disertai pencerabutan perlindungan hak-hak buruh merupakan bagian dalam rangka mendukung disain dan pelaksanaan sistem neo-liberal.

Dalam soal kebijakan pengupahan, penetapan upah minimum yang seringkali dianggap sebagai jaring pengaman, sebenarnya politik upah untuk terus mengendalikan laju peningkatan upah yang berada di bawah kenaikan inflasi. Secara makro, politik upah buruh murah menjadi prasyarat bagi Negara-negara selatan untuk berhadapan dengan lembaga keuangan internasional. Sementara di tingkat bawah, melalui Dewan Pengupahan, buruh dari tahun ke tahun dipaksa berkompromi berhadapan dengan besaran upah yang diusulkan pengusaha dan ditetapkan pemerintah.

Meskipun secara tekstual, sebagaimana diatur dalam pasal 88 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003, buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan keharusan pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh, namun dalam prakteknya buruh tetap saja mendapatkan upah di bawah standar kehidupan yang layak. Padahal dalam pasal 38 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan tegas bahwa setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Artinya, upah layak bukanlah untuk sekadar buruh seorang diri, tetapi juga bagi ‘kelangsungan kehidupan keluarganya’. Penegasan ini sayangnya ditempatkan di bagian penjelasan UU No. 13 Tahun 2003, yakni dalam penjelasan Pasal 88 Ayat (1), yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

Dengan konteks demikian, sekali lagi, disain hukum perburuhan yang mengatur pengupahan harus didorong pada kelayakan bagi buruh untuk ‘kelangsungan kehidupan keluarganya’ serta memenuhi standar hukum internasional yang menyangkut kebutuhan dasar gizi seseorang per hari sebagaimana ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).


Begitu juga dalam soal PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang selama ini penegakan dan perlindungan hak-hak normatifnya dirasakan sangat lemah. Dalam skema LMF, politik hukum yang mendorong kemudahan ‘hire and fire’ (pengupahan dan pemecatan) sangatlah diminati bagi kaum investor. Kemudahan untuk memecat ini pula yang mengaitkan kebijakan pesangon dan jaminan sosial bagi buruh yang harus diubah untuk kepentingan liberalisasi pasar. Pesangon yang merupakan kewajiban pekerja (vide: Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003) hendak diubah ketentuannya menjadi semacam asuransi dan tanggung jawab buruh itu sendiri, termasuk jaminan sosial dan jaminan hari tua (Wiratraman 2007a). Jelas, dalam konteks ini, buruh diperlakukan sekadar sekrup dalam mesin produksi, dan tidak lagi dilihat sebagai manusia yang harus dimanusiakan.

Pengurangan hak-hak buruh kian melengkapi tekanan kapitalisme ketika hukum perburuhan melegalisasi outsourcing (pemborongan pekerjaan) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) secara liberal. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerja kontrak dan outsourcing dalam skema pasar buruh lentur diterjemahkan melalui pasal 56-60, 64-66. Yang menjadi persoalan adalah sisi jaminan kelayakan bekerja, bahwa konsekuensi kerja kontrak dan outsourcing telah secara langsung mengurangi hak-hak buruh, utamanya menyangkut berbagai tunjangan, jaminan sosial (social security) dan keamanan bekerja secara layak (proper job security). Status dan hak antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak adalah jelas berbeda, utamanya menyangkut dua hal tersebut. Banyak ditemukan fakta bahwa pementingan efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi akan mendorong kebijakan upah buruh murah dan berakibat pada berkurangnya jaminan sosial dan keamanan bekerja bagi buruh (Standing 1999). Pasal-pasal tentang kerja kontrak dan outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003 jelaslah bermasalah dan bertentangan dengan tidak saja dengan UUD 1945 sebagai hukum dasar dan tertinggi di Indonesia, namun juga bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (Wiratraman 2007b). Dari perspektif etika, tidak terlampau susah untuk menyatakan bahwa aturan kerja kontrak dan outsourcing yang demikian telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar filsafat negara serta pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Dalam situasi seperti sekarang memang telah nyata terjadi benturan disain hukum perburuhan dengan landasan konstitusionalisme Indonesia, yang menabrak keras nilai-nilai kemanusiaan, serta menelikung tajam tujuan kemerdekaan kebangsaan yang seharusnya Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (vide: Pembukaan UUD 1945 alinea 4).

Pilihan Hukum Alternatif

Untuk memulihkan hak-hak buruh dalam konteks mengubah kebijakan perundang-undangan yang pro-buruh, maka pilihannya adalah bukan sekadar menolak dan kembali ke perundang-undangan lama. Melainkan kebijakan tersebut dilihat dari: Pertama, mengoreksi teks dan mengevaluasi implementasi dari undang-undang perburuhan selama ini; dan Kedua, membuat draf alternatif yang lebih progresif dalam urusan perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh. Kegiatan keduanya menghendaki adanya pemetaan ketentuan-ketentuan yang layak dipertahankan dan ketentuan-ketentuan yang seharusnya diganti atau diubah dengan ketentuan yang lebih merespon pada kepentingan buruh dan penciptaan hubungan perburuhan yang lebih manusiawi.

Namun jauh lebih penting dari itu, hasrat untuk membuat draf alternatif RUU Perlindungan Buruh tidak sekadar memiliki output untuk hasil ‘draf’ an sich, tetapi setidaknya tiga hal: (i) memperkuat pendidikan bagi buruh; (ii) membangun transformasi politik buruh untuk mendorong proses-proses demokratisasi politik kewargaan; (iii) strategi untuk merawat stamina gerakan buruh itu sendiri.

Untuk menciptakan draf pilihan hukum ini dipertimbangkan pula apakah aturan perburuhan hendak dikodifikasikan ataukah dibiarkan menyebar luas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Kedua pilihan ini memiliki konsekuensi keutamaan dan kelemahan tersendiri. Di satu sisi, dengan kodifikasi akan memudahkan bagi buruh menjadikannya pegangan (hukum) untuk perlindungan hak-haknya serta memahami kewajibannya, dibandingkan bila aturan perburuhan yang tersebar. Namun di sisi lain, memerlukan waktu yang tidak singkat untuk mengintegrasikan substansinya mengingat begitu banyaknya aturan hukum yang ada soal perburuhan.

Secara substantif, kehendak membentuk undang-undang perburuhan alternatif dilandasi oleh semangat demokratis kerakyatan, yakni mengupayakan substansi yang: (i) anti diskriminasi terhadap segala bentuk berdasarkan suku, agama, ras, pandangan politik, jenis kelamin dan usia, baik dari sejak proses rekruitmen hingga promosi jenjang karir; (ii) perlindungan dan tanggung jawab negara terhadap sistem kerja, pengupahan, dan jaminan-jaminan perburuhan, karena merupakan mandat konstitusional pemerintah untuk menjalankan kewajiban pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (iii) menghapus segala bentuk eksploitasi manusia atas manusia dalam kaitannya dengan pelaksanaan outsourcing (pemborongan pekerjaan) dan PKWT; (iv) memberikan jaminan terhadap hak-hak berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat, termasuk hak mogok sebagai hak asasi manusia mendasar dalam hubungan perburuhan; (v) membangun sistem perlindungan bagi buruh, melalui kelembagaan khusus (Dewan Perlindungan Buruh), yang terlibat tidak saja dalam urusan sengketa perburuhan, melainkan pula terlibat dalam penentuan upah yang layak serta menyeluruh, diusulkan berlaku secara nasional (vi) serta menempatkan posisi pemerintah bukan sebagai sekadar fasilitator, tetapi dituntut untuk menjadi pihak yang memberikan perlindungan hukum bagi kaum yang lemah. Termasuk di dalamnya, mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban aparat Negara yang bekerja untuk melindungi hak-hak buruh.

Lepas dari soal teknis format draf alternatif, adalah bagaimana, pertama, substansi perubahan undang-undang perubahan dapat memberikan ruang partisipasi seluas mungkin dan perdebatan yang mendalam. Perlu pula, keterlibatan organisasi gerakan dan serikat buruh untuk mendiskusikannya secara intensif sekaligus menjadi media pendidikan bagi keanggotaan buruh hingga pada tingkat paling bawah. Kedua, membangun komitmen keberlanjutan gerakan bagi buruh dan serikat-serikatnya untuk terus menerus menekan kebijakan agar lebih pro-buruh. Dengan gerakan akan bisa terus menerus mengingatkan pemerintah dan pengusaha agar melindungi hak-hak buruh. Selama ini, ketentuan normatif yang ada meskipun dilanggar oleh pengusaha, tetap saja pemerintah tidak efektif alias lemah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum sehingga banyak merugikan kepentingan dan hak-hak buruh. Ketiga, memperluas jaringan dan memperbanyak simpul-simpul kekuatan demokrasi nan anti-neoliberalisme, baik di kalangan jurnalis, akademisi dan mahasiswa, organisasi tani, dan kelompok terorganisir lainnya.

Dengan strategi demikian, diharapkan perubahan undang-undang perburuhan dapat dikawal secara baik oleh buruh agar tidak terlalu mudah dikendalikan dalam disain liberalisasi pasar. Karena, tanpa ditopang strategi yang baik maka kekuatan kooptasi kapital akan dengan sangat mudah menundukkan kebijakan negara, pengusaha plus buruhnya itu sendiri.

Hukum merupakan produk kekuatan (politik), cerminan dari siapa yang lebih kuat memberikan pengaruh! Oleh sebabnya, buruh pun harus memulai memberikan pengaruhnya dengan kekuatan terorganisir, sehingga demokratisasi yang berjalan sekarang ini bisa lebih memberikan kesempatan politik buruh yang lebih adil dan tidak mudah dibengkokkan dalam marginalisasi hak-hak buruh.

Pustaka

Guy Standing (1999) Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice. London: MacMillan Press.

Turkel, Gerald (1996) Law and Society: Critical Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006a) Good Governance and Legal Reform in Indonesia. Bangkok: OHRSD Mahidol University.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006b) ”Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap Hak-Hak Buruh.” Makalah Untuk Labor Law Course For Trade Unionist, Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights Center dan Forum Buruh Surabaya (FBS).

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007a) ”Asuransi Ketenagakerjaan, Pesangon Dan Dana Pensiun Dalam Sistem Jaminan Sosial Di Indonesia: Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia.” Makalah disajikan untuk Seminar Ketenagakerjaan: Asuransi Ketenagakerjaan Sebagai Alternatif Pilihan Dalam Rangka Mempersiapkan Uang Pesangon Dan Dana Pensiun. Diselenggarakan oleh Forum Studi Mahasiswa Hukum (Fosmah) Fak. Hukum Universitas Bhayangkara, Hotel Tunjungan Surabaya, 22 Maret 2007.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007b) ”Dampak Kerja Kontrak dan Outsourcing Dilihat dari Segi Hak Asasi Manusia.” Disampaikan pada acara Dialog Publik: Kajian Terhadap Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing, diselenggarakan oleh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), Komite Wilayah Kabupaten Gresik, 25 Maret 2007.

Zinn, Michael (1971) “The Conspiracy of Law” in The Rule of Law, (ed) Robert Paul Wolfe. New York: Simon and Schuster.



[1] Tulisan yang diolah kembali dari Pengantar Focus Group Discussion (FGD): Penyusunan Undang-Undang Perlindungan Buruh, diselenggarakan oleh Badan Pekerja Nasional Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Jakarta 3 September 2007.

[2] Tim Kajian Independen diketuai oleh Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana (UNPAD), Sekretaris Dr. Suahasil Nazara (UI), dan anggota: Prof. Dr. Aloysius Uwiyono (UI), Prof. Dr. Safri Nugraha (UI), Dr. Jossy P. Moeis (UI), Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi (UNPAD), Dra. Ira Irawati, M.Si. (UNPAD), Dr. T. Hani Handoko (UGM), Dr. Bagus Santoso (UGM), Drs. Sukamdi, M.Sc. (UGM), Prof. Dr. Bismar Nasution (USU), Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait (USU), Prof. Dr. Tahir Kasnawi (UNHAS), Prof. Dr. Muh. Yunus Zain (UNHAS).


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?