Monday, September 01, 2008

Disain Hukum Perburuhan: Antara Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 8, Sept '07 - Maret '08


Disain Hukum Perburuhan: Antara Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar[1]


R. Herlambang Perdana Wiratraman

Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia

Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Pengantar

Gempuran para pendukung neo-liberal terhadap perubahan politik hukum perburuhan di Indonesia kian sistematik, rapi dan dikemas dalam strategi yang mampu memistifikasi kekuasaan dan kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi. Skenario demikian bisa terlihat dari gelombang tekanan reformasi bidang perburuhan telah masuk sejak masa-masa awal krisis finansial melanda Asia Timur dan Asia Tenggara 1997an, dan tentunya tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan pula terjadi di negara-negara sebagai korban krisis tersebut.

Gelombang paling muktahir adalah rencana revisi Pemerintah Indonesia atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ditargetkan tuntas pada pertengahan tahun 2006 lalu, tetapi gagal. Penundaan revisi disertai dengan upaya untuk “menggali” lebih dalam sekaligus mengkaji kebijakan perburuhan, yang dioutsourcingkan melalui 5 (lima) perguruan tinggi, Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) dan Universitas Hasanuddin (Makkasar). Mereka menyebut dirinya sebagai Tim Kajian Independen.[2] Tentu, kehadiran kampus sebagai organ intelektual formal, apalagi dipenuhi dengan anggota tim yang meliputi sebagian besar gelar guru besar dan doktoral, merupakan persinggungan antara kekuatan pengetahuan dan kekuasaan, sangatlah dominan mempengaruhi diskursus “kebenaran” (baca: skenario pembenaran) tekstualitas politik hukum neo-liberal dalam kebijakan perburuhan.

Perlu untuk tidak dilupakan, bahwa mesin kampus senantiasa dipergunakan dalam rangka mendesakkan kebijakan apapun, apalagi bagi kebijakan yang merupakan kepentingan dominan penguasa politik ekonomi tertentu. Dan itulah, metode paling gampang untuk menegaskan klaim kebenaran, melalui jargon-jargon ‘akademik’, ‘independen’, atau yang lainnya.

Tanpa perlu terjebak untuk melanjutkan retorika klaim kebenaran tersebut, perlu kiranya bagi elemen gerakan untuk berpolitik, membongkar diskursus dalam kebijakan perburuhan, termasuk memperjuangkan alternatif posisi rakyat, utamanya kaum buruh untuk mendesakkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak bagi kaumnya sendiri.

Tulisan ini ditujukan untuk memberikan dukungan argumentasi hukum terhadap disain hukum perburuhan yang lebih berpihak terhadap penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, di tengah kepungan kebijakan informalisasi ketenagakerjaan dalam paradigma liberalisasi pasar. Pertanyaan kunci dalam tulisan berikut adalah, apakah pilihan hukum dalam disain hukum perburuhan alternatif yang lebih berpihak pada hak-hak buruh dalam konteks masifnya informalisasi ketenagakerjaan? Tinjauan tulisan ini didasarkan pada analisis politik ekonomi yang melatarbelakangi lahirnya teks-teks hukum.

Hukum dan Buruh: Logika Kapitalisme

Secara falsafati, hukum dibentuk untuk melindungi yang lemah! Hukum memang bagian dari produk politik kekuasaan dominan yang ada saat pembentukannya, namun secara prinsip bahwa kehadiran kekuasaan tersebut tidaklah serta merta menggampangkan penegasian hak-hak rakyatnya. Karena itulah, sebenarnya melekat nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan untuk melindungi hak-hak kaum yang lemah.

Begitu juga hakekat hukum buruh, mestinya ditujukan untuk melindungi buruh itu sendiri. Namun dalam kenyataannya tidak demikian. Hukum dalam konteks kebijakan perburuhan lebih memperlihatkan kontradiksi atas jaminan perlindungan hak-hak kaum buruh. Dalam perspektif Marxian, logika kapitalisme telah memasuki dimensi sosial, hukum dan hubungan kekuasaan politik yang mendukung eksploitasi buruh.

Dengan situasi demikian, bentuk eksploitasi kapitalisme memiliki bentuk yang berbeda dengan perbudakan, dimana di bawah relasi-relasi sosial kapitalis, eksploitasi mengambil bentuk dari suatu bentuk kontrak: buruh dan majikan dibebaskan masuk untuk membentuk persepakatan yang mengikat secara hukum atas perjanjian-perjanjian upah yang menentukan sekaligus pertanggungjawaban bersama (Turkel 1996: 72). Hukum memberikan jaminan atas ruang-ruang eksploitasi, sehingga hukum pada perkembangannya memiliki sumber-sumber alienasi dan kekerasan atas hak-hak asasi manusia. Singkatnya, hukum menjadi alat legitimasi atas kepentingan dominan kekuasaan, utamanya dalam bagian ini sebagai pendorong kapitalisme yang sangat vulgar mengeksploitasi dan mengalienasi hak-hak buruh.

Di tengah prosesi demokrasi elektoral yang kian manis di sejumlah Negara-negara Selatan atas dukungan Negara-negara Utara, melahirkan sirkuit politik ekonomi baru yang kian terlegitimasi dengan bingkai pembaruan politik yang tidak lagi bercermin pada otorianisme. Ketatapemerintahan otoritarianisme yang tidak lagi sesuai dengan kepentingan pasar, dibonsai dengan ‘ketatapemerintahan yang baik’ (good governance). Harapannya, lahir kepercayaan pasar atas kepemimpinan politik yang konsisten mengabdi pada paradigma neo-liberal. Oleh sebabnya tidak begitu mengherankan bahwa good governance sama sekali tidak memperbincangkan krisis mendasar dari kebijakan politik yang jelas dan nyata menindas kepentingan rakyat. Good governance dalam konteks demikian telah mengalienasi hak-hak asasi manusia (Wiratraman 2006a).

Disain ‘ketatapemerintahan yang baik’ diharapkan melahirkan aturan main yang pasti dalam soal hukum, sehingga kompetisi liberal akan sangat mendukung terciptanya pasar yang efektif. Dengan harapan (pasar) demikian, the Rule of Law menjadi primadona diskursus untuk menggusur the Rule of Man, persis seperti yang diharapkan oleh penganjur pilar-pilar supremasi hukum (Supremacy of Law) dan persamaan di muka hukum (Equality before the Law).

Meskipun demikian, bila diperhatikan benar bahwa apa yang terucap sama dalam diskursus dominan the Rule of Law sesungguhnya beda tipis dengan the Rule of Capital. Keduanya bisa dipersandingkan dan dipertukarkan tanpa keraguan untuk menjawab hukum-hukum yang menopang kepentingan liberalisasi pasar. Uniknya, tanpa kesadaran kritis (baik pemerintah, buruh dan akademisi) terhadap persandingan diskursus keduanya, sama halnya melibatkan diri pada kekuatan yang bekerja untuk kekuasaan kapital.

Itu sebabnya, menurut Zinn (1971), the Rule of Law tidak ubahnya seperti suatu jenis konspirasi, yang berwujud topeng atas sumber-sumber kebenaran kekuasaan dalam masyarakat. Logika kapitalisme dalam hukum kini telah begitu gampang ditemui di tengah wacana globalisasi yang menampakkan dominasi kebijakan liberalisasi pasar. Artinya, globalisasi yang kita hadapi sekarang ini berpotensi untuk menyingkirkan hak-hak asasi manusia dan sekaligus melanggengkan hubungan eksploitatif manusia atas manusia dengan cara yang kian sistematik melalui hukum opresif (legalized human rights violation).

Pergulatan Disain Hukum

Sejak bangsa ini merdeka, disain hukum perburuhan yang dimiliki telah memberikan perlindungan yang cukup baik. Perundang-undangan buruh ini bisa terlihat dari sejumlah produknya, meliputi: UU No.33 Tahun 1947 (Undang-Undang Kecelakaan), UU No. 12 Tahun 1948 (Undang-Undang Kerja), UU No. 23 Tahun 1948 (Pengawasan Perburuhan), UU No. 21 Tahun 1954 (Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan), UU No. 18 Tahun 1956 (Persetujuan Konvensi ILO No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama), UU No. 22 Tahun 1957 (Penyelesaian Perselisihan Perburuhan) dan UU No. 12 Tahun 1964 (Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta).

Meskipun peraturan perundang-undangan tersebut cukup memadai, namun dalam prakteknya sepanjang sejarah rezim otoritarian militer Soeharto telah dinegasikan implementasinya. Tumbangnya Soeharto di awal masa krisis finasial 1998, bukan berarti kebijakan perburuhannya menjadi lebih baik, tetapi justru kian mendapat tekanan neo-liberal yang sebenarnya pula mengambil keuntungan dari kejatuhan rezim tersebut. ‘Era reformasi’ telah memberikan jalan lapang bagi kemudahan proponen neo-liberal untuk memasuki secara lebih terlegitimasi dalam sistem politik dan hukum Indonesia. Salah satunya melalui Legal Framework for Development (Kerangka Hukum untuk Pembangunan) yang demikian dominan dipengaruhi oleh Bank Dunia. Muatan kerangka hukum tersebut tak ubahnya teks-teks opresif bagi buruh.

Ada sejumlah teks-teks hukum opresif yang bisa dicermati dari disain pembaruan hukum buruh. Teks hukum opresif dimaknai sebagai arus dominan paradigma neo-liberal yang dimaterialisasikan melalui pasal-pasal khusus untuk melegalisasi praktek eksploitasi manusia atas manusia.

Dalam konteks hukum perburuhan di Indonesia, aturan demikian bisa dikritisi dari kebijakan labour market flexibility (LMF-kelenturan pasar buruh), yang meliputi pengupahan dan upah minimum, PHK, ketentuan pesangon, outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pembatasan hak-hak berserikat dan mogok. Tentu, ketentuan yang disebutkan ini hanyalah sebagian dari sistem yang bekerja dalam kebijakan dengan paradigma neo-liberal, karena liberalisasi pasar tidaklah sekadar masuk di sektor buruh, namun pula sektor-sektor lainnya seperti privatisasi badan usaha milik Negara (telekomunikasi, listrik, perkebunan, pengelolaan air) dan penarikan subsidi sektor strategis yang berpengaruh terhadap kebutuhan dasar warga (pendidikan, kesehatan, bahan bakar minyak). Hal demikian merupakan paket kebijakan ekonomi internasional yang didominasi institusi keuangan internasional, disebut sebagai ’konsensus Washington’, dengan mantra privatisasi (privatization), perdagangan bebas (free trade), pertumbuhan berorientasi eksport (export-led growth), mobilitas modal keuangan (financial capital mobility), pasar-pasar buruh yang dideregulasi (deregulated labor markets), dan kebijakan penghematan makro-ekonomi (macro-economic austerity) (Wiratraman 2006a, 2006b). Oleh sebab itu, pengurangan beban kapital dengan disertai pencerabutan perlindungan hak-hak buruh merupakan bagian dalam rangka mendukung disain dan pelaksanaan sistem neo-liberal.

Dalam soal kebijakan pengupahan, penetapan upah minimum yang seringkali dianggap sebagai jaring pengaman, sebenarnya politik upah untuk terus mengendalikan laju peningkatan upah yang berada di bawah kenaikan inflasi. Secara makro, politik upah buruh murah menjadi prasyarat bagi Negara-negara selatan untuk berhadapan dengan lembaga keuangan internasional. Sementara di tingkat bawah, melalui Dewan Pengupahan, buruh dari tahun ke tahun dipaksa berkompromi berhadapan dengan besaran upah yang diusulkan pengusaha dan ditetapkan pemerintah.

Meskipun secara tekstual, sebagaimana diatur dalam pasal 88 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003, buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan keharusan pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh, namun dalam prakteknya buruh tetap saja mendapatkan upah di bawah standar kehidupan yang layak. Padahal dalam pasal 38 ayat (4) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan tegas bahwa setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Artinya, upah layak bukanlah untuk sekadar buruh seorang diri, tetapi juga bagi ‘kelangsungan kehidupan keluarganya’. Penegasan ini sayangnya ditempatkan di bagian penjelasan UU No. 13 Tahun 2003, yakni dalam penjelasan Pasal 88 Ayat (1), yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

Dengan konteks demikian, sekali lagi, disain hukum perburuhan yang mengatur pengupahan harus didorong pada kelayakan bagi buruh untuk ‘kelangsungan kehidupan keluarganya’ serta memenuhi standar hukum internasional yang menyangkut kebutuhan dasar gizi seseorang per hari sebagaimana ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).


Begitu juga dalam soal PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang selama ini penegakan dan perlindungan hak-hak normatifnya dirasakan sangat lemah. Dalam skema LMF, politik hukum yang mendorong kemudahan ‘hire and fire’ (pengupahan dan pemecatan) sangatlah diminati bagi kaum investor. Kemudahan untuk memecat ini pula yang mengaitkan kebijakan pesangon dan jaminan sosial bagi buruh yang harus diubah untuk kepentingan liberalisasi pasar. Pesangon yang merupakan kewajiban pekerja (vide: Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003) hendak diubah ketentuannya menjadi semacam asuransi dan tanggung jawab buruh itu sendiri, termasuk jaminan sosial dan jaminan hari tua (Wiratraman 2007a). Jelas, dalam konteks ini, buruh diperlakukan sekadar sekrup dalam mesin produksi, dan tidak lagi dilihat sebagai manusia yang harus dimanusiakan.

Pengurangan hak-hak buruh kian melengkapi tekanan kapitalisme ketika hukum perburuhan melegalisasi outsourcing (pemborongan pekerjaan) dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) secara liberal. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerja kontrak dan outsourcing dalam skema pasar buruh lentur diterjemahkan melalui pasal 56-60, 64-66. Yang menjadi persoalan adalah sisi jaminan kelayakan bekerja, bahwa konsekuensi kerja kontrak dan outsourcing telah secara langsung mengurangi hak-hak buruh, utamanya menyangkut berbagai tunjangan, jaminan sosial (social security) dan keamanan bekerja secara layak (proper job security). Status dan hak antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak adalah jelas berbeda, utamanya menyangkut dua hal tersebut. Banyak ditemukan fakta bahwa pementingan efisiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi akan mendorong kebijakan upah buruh murah dan berakibat pada berkurangnya jaminan sosial dan keamanan bekerja bagi buruh (Standing 1999). Pasal-pasal tentang kerja kontrak dan outsourcing dalam UU No. 13 Tahun 2003 jelaslah bermasalah dan bertentangan dengan tidak saja dengan UUD 1945 sebagai hukum dasar dan tertinggi di Indonesia, namun juga bertentangan dengan hak-hak asasi manusia (Wiratraman 2007b). Dari perspektif etika, tidak terlampau susah untuk menyatakan bahwa aturan kerja kontrak dan outsourcing yang demikian telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar filsafat negara serta pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Dalam situasi seperti sekarang memang telah nyata terjadi benturan disain hukum perburuhan dengan landasan konstitusionalisme Indonesia, yang menabrak keras nilai-nilai kemanusiaan, serta menelikung tajam tujuan kemerdekaan kebangsaan yang seharusnya Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (vide: Pembukaan UUD 1945 alinea 4).

Pilihan Hukum Alternatif

Untuk memulihkan hak-hak buruh dalam konteks mengubah kebijakan perundang-undangan yang pro-buruh, maka pilihannya adalah bukan sekadar menolak dan kembali ke perundang-undangan lama. Melainkan kebijakan tersebut dilihat dari: Pertama, mengoreksi teks dan mengevaluasi implementasi dari undang-undang perburuhan selama ini; dan Kedua, membuat draf alternatif yang lebih progresif dalam urusan perlindungan dan pemenuhan hak-hak buruh. Kegiatan keduanya menghendaki adanya pemetaan ketentuan-ketentuan yang layak dipertahankan dan ketentuan-ketentuan yang seharusnya diganti atau diubah dengan ketentuan yang lebih merespon pada kepentingan buruh dan penciptaan hubungan perburuhan yang lebih manusiawi.

Namun jauh lebih penting dari itu, hasrat untuk membuat draf alternatif RUU Perlindungan Buruh tidak sekadar memiliki output untuk hasil ‘draf’ an sich, tetapi setidaknya tiga hal: (i) memperkuat pendidikan bagi buruh; (ii) membangun transformasi politik buruh untuk mendorong proses-proses demokratisasi politik kewargaan; (iii) strategi untuk merawat stamina gerakan buruh itu sendiri.

Untuk menciptakan draf pilihan hukum ini dipertimbangkan pula apakah aturan perburuhan hendak dikodifikasikan ataukah dibiarkan menyebar luas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Kedua pilihan ini memiliki konsekuensi keutamaan dan kelemahan tersendiri. Di satu sisi, dengan kodifikasi akan memudahkan bagi buruh menjadikannya pegangan (hukum) untuk perlindungan hak-haknya serta memahami kewajibannya, dibandingkan bila aturan perburuhan yang tersebar. Namun di sisi lain, memerlukan waktu yang tidak singkat untuk mengintegrasikan substansinya mengingat begitu banyaknya aturan hukum yang ada soal perburuhan.

Secara substantif, kehendak membentuk undang-undang perburuhan alternatif dilandasi oleh semangat demokratis kerakyatan, yakni mengupayakan substansi yang: (i) anti diskriminasi terhadap segala bentuk berdasarkan suku, agama, ras, pandangan politik, jenis kelamin dan usia, baik dari sejak proses rekruitmen hingga promosi jenjang karir; (ii) perlindungan dan tanggung jawab negara terhadap sistem kerja, pengupahan, dan jaminan-jaminan perburuhan, karena merupakan mandat konstitusional pemerintah untuk menjalankan kewajiban pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (iii) menghapus segala bentuk eksploitasi manusia atas manusia dalam kaitannya dengan pelaksanaan outsourcing (pemborongan pekerjaan) dan PKWT; (iv) memberikan jaminan terhadap hak-hak berserikat, berkumpul dan menyuarakan pendapat, termasuk hak mogok sebagai hak asasi manusia mendasar dalam hubungan perburuhan; (v) membangun sistem perlindungan bagi buruh, melalui kelembagaan khusus (Dewan Perlindungan Buruh), yang terlibat tidak saja dalam urusan sengketa perburuhan, melainkan pula terlibat dalam penentuan upah yang layak serta menyeluruh, diusulkan berlaku secara nasional (vi) serta menempatkan posisi pemerintah bukan sebagai sekadar fasilitator, tetapi dituntut untuk menjadi pihak yang memberikan perlindungan hukum bagi kaum yang lemah. Termasuk di dalamnya, mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban aparat Negara yang bekerja untuk melindungi hak-hak buruh.

Lepas dari soal teknis format draf alternatif, adalah bagaimana, pertama, substansi perubahan undang-undang perubahan dapat memberikan ruang partisipasi seluas mungkin dan perdebatan yang mendalam. Perlu pula, keterlibatan organisasi gerakan dan serikat buruh untuk mendiskusikannya secara intensif sekaligus menjadi media pendidikan bagi keanggotaan buruh hingga pada tingkat paling bawah. Kedua, membangun komitmen keberlanjutan gerakan bagi buruh dan serikat-serikatnya untuk terus menerus menekan kebijakan agar lebih pro-buruh. Dengan gerakan akan bisa terus menerus mengingatkan pemerintah dan pengusaha agar melindungi hak-hak buruh. Selama ini, ketentuan normatif yang ada meskipun dilanggar oleh pengusaha, tetap saja pemerintah tidak efektif alias lemah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum sehingga banyak merugikan kepentingan dan hak-hak buruh. Ketiga, memperluas jaringan dan memperbanyak simpul-simpul kekuatan demokrasi nan anti-neoliberalisme, baik di kalangan jurnalis, akademisi dan mahasiswa, organisasi tani, dan kelompok terorganisir lainnya.

Dengan strategi demikian, diharapkan perubahan undang-undang perburuhan dapat dikawal secara baik oleh buruh agar tidak terlalu mudah dikendalikan dalam disain liberalisasi pasar. Karena, tanpa ditopang strategi yang baik maka kekuatan kooptasi kapital akan dengan sangat mudah menundukkan kebijakan negara, pengusaha plus buruhnya itu sendiri.

Hukum merupakan produk kekuatan (politik), cerminan dari siapa yang lebih kuat memberikan pengaruh! Oleh sebabnya, buruh pun harus memulai memberikan pengaruhnya dengan kekuatan terorganisir, sehingga demokratisasi yang berjalan sekarang ini bisa lebih memberikan kesempatan politik buruh yang lebih adil dan tidak mudah dibengkokkan dalam marginalisasi hak-hak buruh.

Pustaka

Guy Standing (1999) Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice. London: MacMillan Press.

Turkel, Gerald (1996) Law and Society: Critical Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006a) Good Governance and Legal Reform in Indonesia. Bangkok: OHRSD Mahidol University.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006b) ”Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap Hak-Hak Buruh.” Makalah Untuk Labor Law Course For Trade Unionist, Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights Center dan Forum Buruh Surabaya (FBS).

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007a) ”Asuransi Ketenagakerjaan, Pesangon Dan Dana Pensiun Dalam Sistem Jaminan Sosial Di Indonesia: Perspektif Hukum Dan Hak Asasi Manusia.” Makalah disajikan untuk Seminar Ketenagakerjaan: Asuransi Ketenagakerjaan Sebagai Alternatif Pilihan Dalam Rangka Mempersiapkan Uang Pesangon Dan Dana Pensiun. Diselenggarakan oleh Forum Studi Mahasiswa Hukum (Fosmah) Fak. Hukum Universitas Bhayangkara, Hotel Tunjungan Surabaya, 22 Maret 2007.

Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007b) ”Dampak Kerja Kontrak dan Outsourcing Dilihat dari Segi Hak Asasi Manusia.” Disampaikan pada acara Dialog Publik: Kajian Terhadap Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing, diselenggarakan oleh Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), Komite Wilayah Kabupaten Gresik, 25 Maret 2007.

Zinn, Michael (1971) “The Conspiracy of Law” in The Rule of Law, (ed) Robert Paul Wolfe. New York: Simon and Schuster.



[1] Tulisan yang diolah kembali dari Pengantar Focus Group Discussion (FGD): Penyusunan Undang-Undang Perlindungan Buruh, diselenggarakan oleh Badan Pekerja Nasional Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Jakarta 3 September 2007.

[2] Tim Kajian Independen diketuai oleh Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana (UNPAD), Sekretaris Dr. Suahasil Nazara (UI), dan anggota: Prof. Dr. Aloysius Uwiyono (UI), Prof. Dr. Safri Nugraha (UI), Dr. Jossy P. Moeis (UI), Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi (UNPAD), Dra. Ira Irawati, M.Si. (UNPAD), Dr. T. Hani Handoko (UGM), Dr. Bagus Santoso (UGM), Drs. Sukamdi, M.Sc. (UGM), Prof. Dr. Bismar Nasution (USU), Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait (USU), Prof. Dr. Tahir Kasnawi (UNHAS), Prof. Dr. Muh. Yunus Zain (UNHAS).


Thursday, August 28, 2008

Informalisasi Ketenagakerjaan: Antara Definisi, Segmentasi, dan Flexicurity

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 8, Sept '07 - Maret '08

Informalisasi Ketenagakerjaan:

Antara Definisi, Segmentasi, dan Flexicurity

George Martin Sirait

(Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat

Unika Atma Jaya Jakarta)

Dalam sebuah pertemuan konsultasi publik tingkat nasional soal akses kepada keadilan, diskusi alot terjadi di kelompok kecil yang membahas tema ketenagakerjaan. Kealotan tersebut merebak tatkala hendak merumuskan isu mana dalam ketenagakerjaan yang perlu diprioritaskan untuk intervensi soal akses kepada keadilan. Pihak pemerintah menganggap pekerja di sektor informal adalah kelompok yang harus diprioritaskan karena jumlahnya sangat besar. Sementara peserta yang berasal dari unsur buruh, praktisi, dan akademisi menganggap bahwa informalisasi pekerjaan, dalam wujud sistem kontrak atau outsourcing, perlu juga dimasukkan dalam agenda. Diskusi memanas karena pihak pemerintah bersikukuh untuk tidak memasukkan isu pekerja kontrak dengan alasan bahwa hal tersebut sudah diatur dalam regulasi yang berlaku. Pekerja di sektor informal, tambahnya, belum dilindungi oleh aturan yang ada. Sementara perwakilan buruh menegaskan bahwa kenyataannya pekerja kontrak tidak dilindungi oleh hukum (atau dalam istilah yang digunakan dalam tema edisi ini sebagai “informalisasi ketenagakerjaan”).

Masing-masing tentu mengandung argumentasi yang kuat dan sahih. Proporsi pekerja di sektor informal memang sangat besar dan menunjukkan kecenderungan terus meningkat. Menurut data BPS jumlah pekerja informal pada tahun 1990 sekitar 63,4 persen dari total angkatan kerja dan terus meningkat menjadi 69,75 persen di 2006. Dengan kata lain proporsi pekerja di sektor formal, apalagi industri memang relatif sedikit. Di lain pihak data agregat (nasional) pekerja kontrak tidak tersedia. Sekalipun demikian, baik di kalangan pengusaha maupun pemerintah umum diterima kenyataan bahwa setelah krisis 1997/98, ada kecenderungan kuat jumlah pekerja kontrak meningkat.

Hal ini semakin mempertegas berlanjutnya perbedaan cara pandang tentang agenda ketenagakerjaan di negeri ini antara buruh di satu pihak dengan pemerintah di lain sisi. Pemerintah cenderung (hanya) mengandalkan data makro sebagai basis pembuatan keputusan. Sementara buruh kerap melandaskan argumentasinya pada data-data mikro. Perbedaan ini juga membantu menjelaskan mengapa studi-studi tentang status hubungan kerja kontrak—sekali pun seringkali berskala kecil, sektoral dan kasuistik—justru lebih banyak diinisiasi oleh kalangan buruh atau organisasi non-pemerintah yang menaruh perhatian pada isu perburuhan. Pada level tertentu hal ini membuat situasi ketenagakerjaan gagal dipahami secara utuh. Salah satu contoh kegagalan ini, misalnya, tercermin pada data tentang upah minimum. Menurut data makro, sejak pertengahan tahun 1990-an tingkat rata-rata upah minimum nominal naik terus secara signifikan, yakni dari sekitar di bawah 200 ribuan per bulan pada 1995 menjadi sekitar 1 juta rupiah pada 2007. Serta merta angka ini bisa diartikan sebagai meningkatnya kesejahteraan buruh secara keseluruhan. Namun bila dicek sampai pada level individu, data makro tersebut berbicara lain. Di tingkat ini, kesejahteraan buruh tenyata cenderung stagnan, bahkan sebagian malah makin miskin. Nah, guna mensiasati kegagalan ini, Sangheon Lee mengusulkan agar data makro lebih banyak lagi dilengkapi dengan data mikro yang menggambarkan kenyataan di tingkat individual[1].

Persoalan Definisi

Ketidak-nyambung-an di wilayah praksis, sebagian disebabkan oleh perbedaan bahasa dan pengertian yang digunakan oleh para pihak pada tataran konseptual. Hal ini bisa dilacak, salah satunya dari definisi atau kategorisasi status pekerjaan (employment status), termasuk di dalamnya soal definisi dan ukuran-ukuran ”pekerja kontrak atau outsourcing”, sebuah istilah yang makin populer di negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Memang persolan ini tidak khas Indonesia. Negara lain, seperti Korea Selatan, sekalipun belum mencapai konsensus tentang definisi ini. Masalahnya, perbedaan dalam definisi akan melahirkan pula perbedaan dalam estimasi atau hasil analisis sekalipun menggunakan data yang sama.

Sejak 2001 BPS (Biro Pusat Statistik) memang telah memperluas klasifikasi status hubungan kerja menjadi tujuh kategori, yakni 1) berusaha sendiri, 2) berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap, 3) majikan, 4) buruh/pekerja, 5) pekerja yang tidak dibayar, 6) pekerja bebas di pertanian, dan 7) pekerja bebas di non-pertanian[2]. Akan tetapi, sekalipun ada perubahan dalam kategori tersebut, magnitude problematika “pekerja kontrak” belum terpotret secara memadai dalam survei-surveinya

Sebagai perbandingan, barangkali baik untuk melongok sejenak ke negera tetangga. Sebagaimana dirumuskan oleh Campbell (2007), Australia memiliki tipe-tipe pekerjaan yang bergulir dari sebuah model yang disebut sebagai standard employment (pekerjaan standar[3]). Jenis pekerjaan ini secara garis besar didefinisikan sebagai pekerjaan penuh-waktu, berupah tetap dilengkapi dengan seperangkat tunjangan serta perlindungan atas hak-hak pekerja. Oleh karena itu, standard employment ini menjadi patokan bagi pencapaian sistem hubungan kerja dan standar hidup yang baik di Negeri Kangguru tersebut. Di luar standard employment ada berbagai variasi bentuk non-standard employment (pekerjaan non-standar), dengan karakteristik dasar yakni minimnya hak dan tunjangan kerja serta kurangnya perlindungan dari sistem dan regulasi yang ada.

Di Korea definisi non-regular employment (pekerjaan non-reguler) juga bervariasi dan belum mencapai konsensus. Hal ini mencerminkan pertarungan cara pandang dalam melihat masalah fleksibilitas pasar kerja. Lee dan Yoo (2007) mengulas setidaknya ada dua argumen yang berbeda. Bagi mereka yang menganggap bahwa ekspansi non-regular employment sebagai konsekuensi alamiah dari meningkatnya permintaan akan fleksibilitas dalam pola-pola kerja, baik dari pemberi kerja maupun individu pekerja, mengadopsi perbedaan pengaturan kerja sebagai kriteria untuk mendefinisikan non-regular employment. Sementara pihak lain menilai bahwa pesatnya kenaikan jumlah pekerja non-reguler disebabkan oleh besarnya ketergantungan pengusaha pada fleksibilitas pekerjaan. Makanya, dalam mendefinisikan non-regular employment mereka memasukkan kriteria diskriminasi dalam kondisi kerja maupun perbedaan dalam pengaturan kerja.

Selain terminologi regular dan non-regular employment, Korea juga menggunakan istilah standard dan non-standard employment sebagai dua kategori dalam pekerjaan yang berupah tetap (paid employment). Sedikit berbeda dengan yang di Australia, standard worker didefinisikan sebagai pekerja penuh-waktu, permanen, dan yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan. Sementara non-standard worker didefinisikan sebagai mereka yang memiliki pengaturan pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan standar. Pekerja non standar ini diklasifikan dalam 7 kelompok, yakni contingent worker (kontrak waktu tertentu), part-time worker (bekerja kurang dari 36 jam per minggu), dispatched worker (buruh yang dipekerjakan melalui agen kerja temporer yang dilindungi oleh Law on Dispatch Workers), temporary help worker (sejenis dispatched worker namun tidak dilindungi undang-undang), independent contract (pekerja mandiri, semacam freelance), on-call/daily worker (buruh harian/panggilan) dan tele-worker/home-based worker (pekerja rumahan/jarak jauh).

Apa gerangan pesan dari keruwetan definisi-definisi ini? Perlu pendefinisian baru terhadap jenis-jenis pekerjaan yang bermunculan dan semakin komplek sebagai penyesuaian terhadap turbulensi pasar kerja yang fleksibel.

Segmentasi baru

Sebagai konsekuensi dari dianutnya kebijakan pasar tenaga kerja yang fleksibel, telah dan tengah terjadi fragmentasi dalam jantung pekerjaan formal, yakni dalam wujud—meminjam istilah di Australia dan Korea—pekerjaan non-standar. Jika dilihat secara dualistik, pekerjaan non-standar ini seakan-akan berada di antara yang formal dan informal. Ia masuk wilayah formal karena tergolong pekerjaan yang mendapatkan upah tetap (paid employment). Sementara itu, ia didorong ke wilayah informal karena hak, tunjangan, serta perlindungan hukum yang didapatkannya tidak sama dengan yang dinikmati oleh pekerja formal alias aturan yang ada belum melindungi mereka.

Yang menarik adalah terdapat perbedaan penjelasan mengapa kecenderungan penggunaan pekerja non-standar terus meningkat. Bagi sebagian kalangan, terutama pengusaha, penggunaan pekerja non-standar merupakan konsekuensi logis dari keberadaan regulasi perburuhan yang terlalu protektif dan juga untuk menghindari sistem upah yang berdasarkan senioritas pada pekerja standar. Selain itu, penggunaan pekerja non-standar dianggap sebagai bagian strategi bisnis dalam persaingan pasar. Bahkan sebagian pihak menolak campur tangan pemerintah karena hal tersebut merupakan keputusan bisnis murni dan terjadi secara natural. Ambil contoh, seorang dari kalangan pengusaha industri minyak berpendapat bahwa undang-undang ketenagakerjaan seharusnya mengatur hubungan antara pekerja and pemberi kerja, bukan mengatur bisnis perusahaan. Sebab ”ketika pengusaha minyak dan gas me-outsourcing tenaga kerjanya adalah termasuk bisnis”[4].

Sementara kalangan lain, utamanya buruh, menilai meningkatnya penggunaan pekerja non-standar karena ketergantungan pengusaha yang sedemikian besar terhadap fleksibilitas pekerjaan, yakni untuk menekan biaya tenaga kerja (labor cost) dan menjamin kemudahan untuk melakukan PHK. Selain itu, kalangan buruh curiga berat bahwa strategi ini diambil juga untuk melemahkan gerakan buruh dengan memecah-belah status buruh.

Dulu kerap didengungkan bahwa pengadopsian terhadap kebijakan pasar kerja yang fleksibel adalah formula (sementara) untuk penyesuaian pasar kerja saat krisis ekonomi merebak. Maksudnya, agar dunia bisnis bisa tetap hidup. Namun ternyata sekali pun krisis telah usai, kebijakan ini tetap dipertahankan dengan menggunakan alasan lain, misalnya sebagai kondisi yang diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya untuk mengurangi kemiskinan. Masalahnya, di antara sekian banyak pilihan variasi fleksibilitas pasar kerja, tekanan sedemikian besar diletakkan pada numerical flexibility (penyesuaian kerja antara lain dengan cara fleksibilitas untuk menghentikan hubungan kerja dan penggunaaan pekerja non-standar) dan wage flexibility (penyesuaian biaya tenaga kerja sesuai dengan kondisi usaha dan kinerja pekerja)[5].

Tidak aneh jika salah satu akibat dari kecenderungan pasar kerja yang makin fleksibel ini adalah merosotnya stabilitas atau keamaman kerja (job security). Lalu, siapakah gerangan yang harus menanggung ”biaya” dari kondisi ini? Sayangnya, data yang spesifik tidak tersedia untuk kasus Indonesia. Yang umum terjadi, penanggungnya terutama adalah perempuan, buruh dengan pendidikan rendah, pekerja muda, dan pekerja-non standar. Untuk kategori yang terakhir ini, di Korea sudah mencapai 36,6 persen dari total pekerjaan berupah tetap pada tahun 2005. Mereka inilah yang mengisi segmentasi baru dalam struktur pasar kerja yang fleksibel. Dalam hal kondisi kerja, mereka ini menjadi sasaran diskriminasi dan dimasukkan dalam pelbagai sistem pengaturan kerja.

Lagi-lagi ambil contoh Korea Selatan. Mempertimbangkan kondisi baru yang terus berkembang ini Presiden Roh Mu-Hyun (2003-2008) menelurkan sebuah kebijakan yang dianggap sebagai salah satu kebijakan ketenagakerjaan terpenting dalam masa pemerintahannya, yakni mengatur proteksi bagi buruh non-standar. Kebijakan tersebut melarang pengusaha untuk menggunakan buruh-buruh non-standar ini secara berlebihan dan melarang diskriminasi terhadap mereka.

Perlu dicatat pula bahwa diskriminasi terhadap buruh non-standar sebenarnya juga dilakukan oleh serikat-serikat buruh sendiri. Umumnya SB/SP konvensional beranggotakan hanya buruh tetap yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan. Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa pengurus SB/SP di sektor migas[6] yang banyak mempekerjakan buruh kontrak/outsourcing, SB/SP perusahaan induk tidak dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan rekan kerja mereka yang dipekerjakan oleh perusahaan kontraktor atau outsourcing, karena terbentur kendala institusional. Kendala institusional tersebut berwujud aturan dalam anggaran dasar atau rumah tangga organisasi masing-masing yang membatasi gerakan SB/SP pada anggotanya saja. Tidak aneh jika hal ini menyebabkan SP pada perusahaan induk seakan membuat sekat bagi kepentingan dan keterlibatan pekerja kontrak atau outsourcing walau sama-sama bekerja di tempat yang sama.

Flexicurity

Sebagaimana telah didiskusikan di atas, bahwa ”informalisasi tenaga kerja” dalam bentuk segementasi buruh non-standar terjadi sebagai konsekuensi dari fleksibilitas pasar kerja yang memberi porsi terlalu besar pada wage flexibility dan numerical flexibility. Berkaitan dengan hal ini, studi-studi terakhir[7] menyimpulkan bahwa pasca-krisis 1997/98 telah terjadi pergeseran dalam isu yang dipermasalahkan oleh buruh. Sebelum krisis, buruh cenderung mengusung isu kesejahteraan, antara lain, soal kenaikan upah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tunjangan. Setelah krisis, isu yang lebih mengemuka adalah soal kepastian kerja (job security). Dalam arti tertentu pergeseran isu ini mencerminkan degradasi terhadap perjuangan kualitas kerja yang lebih baik.

Umum diterima bahwa pekerjaan merupakan jembatan paling ampuh untuk keluar dari kemiskinan. Bagi sebagian pekerja, kini jembatan itu goyah dan terancam ambruk karena keamanan dan kepastian kerja semakin merapuh.

Sejarah mencatat bahwa kalangan buruh pernah melakukan perlawanan sengit terhadap kebijakan dan praktik pasar kerja yang fleksibel dan menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu kelihatannya gerakan buruh mulai bergeser dari sikap menolak sama sekali menjadi menerima dengan beberapa catatan. Pergeseran sikap ini bisa dimaklumi karena buruh berhadapan dengan sikap pemerintah dan pengusaha yang sangat meyakini bahwa penerapan kebijakan pasar kerja yang fleksibel merupakan harga mati.

Sikap menerima-dengan-catatan itu, salah satunya bisa dilacak dari pernyataan Rekson Silaban (2008). Berhadapan dengan kenyataan pasar kerja yang makin fleksibel yang makin memanfaatkan buruh non-standar ini , Ketua KSBSI tersebut mengusulkan antara lain agar penetapan outsourcing berdasarkan kerentanan (vulnerability), upah buruh kontrak/outsourcing lebih tinggi daripada buruh permanen, dan masa kerja buruh ini dihitung sesuai dengan pengalaman kerjanya.

Pengaturan proteksi atas diskriminasi kondisi kerja dan pengaturan kerja atas buruh non-standar merupakan salah satu kebijakan yang perlu diusahakan. Strategi lain menyeimbangkan antara fleksibilitas pasar kerja (flexibility) dengan sistem jaring pengaman sosial (security), yang populer dengan sebutan flexicurity. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sistem pengaman sosial tidak terlalu berkembang. Sistem yang ada pun cenderung dengan skema yang sangat terbatas dan menarget sasaran terutama di sektor formal. Dengan catatan, kepesertaan di sektor ini pun masih tergolong rendah, sebagian karena ketidakpatuhan perusahaan. Menurut data dari BPS dan PT. Jamsostek, dari sekitar 36 juta pekerja pada tahun 2007 yang terdaftar dalam kepesertaan jamsostek baru sekitar 65,8 persen, sementara yang aktif hanya sekitar 33,5 persen. Dengan kata lain, mereka yang terseret dalam arus informalisasi pekerjaan standar, kemungkinan besar tidak atau belum dilindungi oleh sistem jaring pengaman sosial yang ada. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengaman yang dapat menjerumuskan para buruh non-standar, terutama yang bergaji rendah, pada jurang kemiskinan.

Nah, kembali kepada ilutrasi di awal tulisan ini, dengan kencenderungan informalisasi pekerjaan di sektor formal, proteksi untuk para buruh non-standar, terutama yang bergaji rendah, seyogyanya memang menjadi bagian dari kebijakan proteksi pemerintah.

Daftar Referensi

Campbell, Iain. 2007. “Australia”. Dalam Sangheon Lee dan Jai-Joon Hur (Editor). Globalization and Changes in Employment Conditions in Asia and the Pacific. Seoul: Korea Labor Institute dan UNDP. Desember. Hlm.7-78.

ILO. 2007. Proceeding Pertemuan Tripartit – Mengembangkan Hubungan Industrial di Industri Minyak dan Gas di Indonesia. ILO. Bogor, 29-31 Oktober. Tidak dipublikasikan.

Lee, Byung-Hee dan Yoo, Bun-Sang. 2007. “Korea”. Dalam Sangheon Lee dan Jai-Joon Hur (Editor). Globalization and Changes in Employment Conditions in Asia and the Pacific. Seoul: Korea Labor Institute dan UNDP. Desember. Hlm.165-216.

Silaban, Rekson. 2008. 9 Upaya yang Diperlukan untuk Fleksibilitas Kerja Indonesia. Handout. Dipresentasikan pada Technical Dialogue on Employment Condition in Indonesia (22 Feb 2008). Dialog ini diselenggarakan oleh ILO bekerja sama dengan Korea Labour Institute (KLI).



[1] Sangheon Lee adalah Senior Technical Officer ILO Genewa. Pendapat tersebut diungkapkan pada acara Technical Dialogue on Employment Condition in Indonesia (22 Feb 2008). Dialog ini diselenggarakan oleh ILO bekerja sama dengan Korea Labour Institute (KLI).

[2] Sebelumnya, klasifikasi hanya terdiri dari lima kategori pertama.

[3] Istilah lain yang juga kadang digunakan antara lain ‘regular’, typical’ atau ‘traditional work’

[4] Lihat ILO (2007). Hlm. 12.

[5] Selain dua yang sudah disebutkan di atas, masih ada functional flexibility (penyesuaian relokasi pekerjaan terhadap kebutuhan pasar) dan working time flexibility (fleksibilitas waktu kerja).

[6] Wawancara dilakukan pada Januari-Februari 2008.

[7] Antara lain studi studi-studi regional yang dilakukan oleh FPBN; lihat juga TURC, Labsos UI, dan Akatiga (2006) tentang Promoting Fair Labour Regulations in Indonesia: A Study and Advocacy in Improving Local Investment Environment in Tangerang and Pasuruan.


Friday, September 08, 2006

Jamsostek dan Harapan Para Pekerja

Daulat Sinuraya

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 disebutkan bahwa jaminan sosial (sosial security) adalah salah satu bentuk perlindungan sosial, untuk menjamin rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak.

Menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 1992, Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja, dalam bentuk santunan berupa uang, sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena itu, program Jamsostek merupakan program pemerintah, yang bertujuan memberikan perlindungan dasar bagi tenaga kerja, guna menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia dalam mengatasi resiko-resiko yang timbul dalam melakukan pekerjaan. Program Jamosostek saat ini mencakup Jaminan Kecelakaan (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Masih Kurang

Kalau kita simak sejarah Jamsostek di Indonesia yang sudah dimulai sejak hampir 30 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1977 dan sampai saat ini sebenarnya sudah membuahkan hasil nyata, namun apa yang dicapai masih sangat jauh dari apa yang diharapkan ketika awal pendiriannya. Konkretnya, apa yang dicapai Jamsostek saat ini masih kurang dari 30 persen dari apa yang seharusnya.

Dalam situasi dan kondisi perekonomian, serta masalah ketenagakerjaan yang dialami Indonesia yang cukup berat dan kompleks saat ini, dan kedepan pengembangan program Jamsostek merupakan terobosan strategis, untuk memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja dan keluarganya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Jamsostek juga merupakan perwujudan gotong royong yang menurut penulis adalah salah satu budaya Indonesia yang harus dilestarikan.

Akan tetapi, tentunyakita semua tentu prihatin mendapat informasi dari berbagai media tentang aksi demo atau unjuk rasa Serikat Pekerja/Karyawan PT Jamsostek (persero) beberapa hari yang lalu. Mengapa kita prihatin?Karena hal itu terjadi ditengah-tengah berbagai kesulitan masyarakat Indonesia saat ini yang notabene sebagian besar pekerja atau buruh mengalami cobaan yang bertubi-tubi mulai dari gempa bumi, banjir, tsunami dan berbagai kesulitan ekonomi dan hidup yang cukup berat.

Karena itu, terlepas dari substansi tuntutan para karyawan tersebut secara intern di lingkungan PT Jamsostek (persero), peristiwa ini perlu disikapi bersama dengan kejernihan pikiran dan kearifan oleh berbagai pihak, yang terkait dengan intern PT Jamsostek (persero) dan berbagai pihak secara ekstern terutama pemerintah. PT Jamsostek (persero) sebagai lembaga (institusi) penyelenggara, perlu segera dibenahi dan diupayakan secara maksimal agar dapat melakukan fungsinya lebih optimal.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa kondisi saat ini, penyelenggaraan program Jamsostek tentu masih jauh dari harapan agar menjadi pelopor dan embrio penyelenggaraan jaminan sosial, terutamabagi para angkatan kerja (labor force) khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Jangankan meliput angkatan kerja, pekerja formal, dalam hubungan kerja saja belum semua berhasil dlindungi oleh program Jamsostek, walaupun sudah berjalan hampir 30 tahun dan diperlengkapi dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang cukup kuat.

Masih banyak terjadi keluhan peserta, kebijakan investasi yang sering mengundang reaksi gejolak perburuhan, kesadaran dan tanggung jawab pengusaha, kemampuan dunia usaha yang cukup heterogen, organisasi dan sistem administrasi PT Jamsostek (persero), transparansi, dukungan teknologi dan SDM masih kurang mengantisipasi dinamika perubahan masalah ketenagakerjaan, aparat pengawas ketenagakerjaan belum mendukung optimal berkaitan masalah otonomi daerah (otda) dan lainnya.

Untuk itu perlu segera diupayakan langkah strategis kedepan, dalam mengembangkan program Jamsostek agar dapat memenuhi harapan pekerja dan keluarganya serta masyarakat Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan.

Kepesertaan program Jamsostek sudah saatnya dijadikan komitmen nasional, agar semua pekerja dalam hubungan kerja (status formal), mendapat jaminan perlindungan kemudian diupayakan bagi pekerja diluar hubungan kerja (status informal) dan pada saatnya seluruh angkatan kerja, yaitu termasuk perlindungan bagi para penganggur (unemployed social security).

Keamanan Dana

Untuk komitmen ini peranan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan kota sangat menentukan terutama karena pelaksanaan otonomi daerah. Dalam rangka perwujudan komitmen tersebut, jajaran PT Jamsostek (persero) harus lebih dimantapkan terutama dalam hal kelembagaan, administrasi, sumber daya manusia, perangkat, manajemen dan lainnya.

Aspek keamanan dana yang terkumpul dan pelayanan hak peserta, harus menjadi prioritas utama untuk menumbuhkembangkan kepercayaan perusahaan dan pekerjanya. Mengingat berbagai perubahan yang berkembang cepat, peningkatan kesadaran, tanggung jawab (responsibility) dan efektivitas para pihak terkait melalui berbagai upaya transformasi pola pikir (mindset) perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan program Jamsostek yang berkesinambungan (sustainable). Sadar berarti menghargai atau menghormati kenyataan.

Bertanggung jawab adalah bagaimana merespon setiap keadaan dengan baik. Efektif paling sedikit mencakup waktu, pengenalan kekuatan, kontribusi, skala prioritas dan pengambilan keputusan. Masih banyak aspek yang harus diungkapkan menyangkut tentang keberadaan program Jamsostek di masa depan agar dapat memenuhi harapan sejak pendiriannya.

Program Jamsostek sebagai bagian dari program jaminan sosial nasional perlu dikaji dan dikembangkan untuk menjadi salah satu solusi utama dalam mengatasi persoalan ekonomi rakyat Indonesia.

Penulis adalah Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi KodyaJakarta Pusat, Pengamat SDM dan Ketenagakerjaan


This page is powered by Blogger. Isn't yours?