Wednesday, September 06, 2006

DAMPAK GLOBALISASI BAGI KAUM BURUH [1]


Oleh : G. Martin Sirait [2]

Even when labor market problems are not the core of the problem facing the country,

all too often workers are asked to bear the brunt of the costs of adjustment.

- Joseph Stiglitz. 2000 dalam “Democratic Development as the Fruits of Labor


Tatkala perusahaan raksasa RCA (Radio Corporation of America) akhirnya menutup pabriknya pada tahun 1998 di Bloomington (Indiana) dan kemudian memindahkan tempat produksinya ke Ciudad Juarez, sebuah kota kecil di daerah perbatasan Amerika Serikat-Meksiko, banyak buruh Amerika naik pitam. Mereka menuduh orang Meksiko “mengambil pekerjaan buruh Amerika”! Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan reaksi Bill Breeden. Supir truk, yang biasa mondar-mandir mengangkut perangkat televisi produk RCA dari Indiana ke perbatasan Meksiko, melihat masalah ini secara lebih kompleks. Komentarnya kira-kira begini: “Jika ada seseorang datang ke sini dan mendirikan pabrik di sini serta menawarkan kepada kita pekerjaan, apakah kita akan mengatakan, ‘oke, kami tidak akan mengambil pekerjaan ini sebab pekerjaan tersebut milik orang lain’. Tapi kan kenyataannya tidak demikian dan buruh Amerika tahu itu.”[3]

Kisah singkat di atas menggambarkan bagaimana ketidak-berdayaan buruh di hadapan modal (capital) yang sangat mudah berpindah atau dipindahkan. Hal yang sama sudah dialami dan hampir pasti masih akan terus dialami oleh buruh-buruh Indonesia. Relokasi beberapa perusahaan multinasional/transnasional (MNC/TNC), seperti Sony dan beberapa perusahaan Korea, ke Malaysia, China, atau Vietnam menceritakan kondisi yang persis sama. Barangkali buruh Indonesia tidak sampai mengutuki rekannya para buruh di negara tempat relokasi investasi tersebut. Akan tetapi, logika, cara kerja (modus operandi) modal dan dampaknya kepada buruh setali tiga uang.

Proyek globalisasi ekonomi, bagi para pendukungnya, dipercaya akan memberi kemakmuran bagi bangsa—jika dijalankan dengan benar. Melalui para motor utamanya, antara lain negara-negara maju serta MNC/TNC dan didukung penuh oleh tiga sekawan lembaga finansial internasional (World Bank, IMF, WTO) berkotbah di mana-mana tentang prinsip-prinsip neo-liberal yang akan membawa kemakmuran tersebut, termasuk bagi para buruh. Secara singkat ada tiga prinsip utama neo-liberalisme, yakni: perdagangan bebas barang dan jasa (free trade in goods and services), sirkulasi bebas modal (free circulation of capital), dan kebebasan berinvestasi (freedom of investment)(George, 1999). Pasar tenaga kerja (labor market) merupakan salah satu saluran utama proyek globalisasi ekonomi untuk mempengaruhi negara-negara sedang berkembang.

Dampak positif

Rama (2003) menunjukkan kecerdikan logika dan kemanjuran praktik neo-liberal ini pada dunia ketenagakerjaan. Menurut studi yang difasilitasi oleh Bank Dunia ini, delokalisasi produksi—antara lain di sektor tekstil, garmen, dan pengolahan makanan—dari negara maju ke negara-negara berkembang telah meningkatkan permintaan akan tenaga kerja. Dengan kata lain, kesempatan kerja bertambah dan pendapatan buruh meningkat. Selain itu, dengan adanya kemudahan mobilitas modal, banyak perempuan muda dari desa bisa bekerja di industri-industri urban yang berorientasi ekspor. Hidup mereka, menurut studi tersebut, bisa jauh lebih baik dari sebelumnya.

Selanjutnya, dengan menggunakan data upah di 70 negara, Rama menyimpulkan bahwa rata-rata pertumbuhan upah yang paling tinggi (hampir 30 persen)pada tahun 1980-an dan 90-an terjadi di negara-negara yang membuka pintu bagi arus globalisasi. Sementara di negara-negara yang masih enggan berintegrasi dengan perdagangan internasional, pertumbuhan upahnya di bawah 15 persen. Keterbukaan pada perdagangan internasional memang terbukti berdampak negatif pada upah namun hal ini akan terjadi beberapa tahun saja. Untuk jangka panjang, kecenderungannya akan berubah pada arah sebaliknya. Sementara itu, dampak investasi langsung luar negeri (foreign direct investment/FDI)sangat positif pada upah (hlm. 2-6). Oleh karena itu, anjur studi ini, akan sangat menguntungkan bagi buruh jika mereka berhasil memikat para investor asing. Akan tetapi, buru-buru ditambahkan bahwa ancaman utama bagi buruh muncul dari mobilitas modal internasional dan krisis finansial. Jika hal ini terjadi maka porsi pendapatan buruh bakal terus merosot. Tapi bila berhasil dicegah, perolehan upah yang diraup dari proyek globalisasi dalam jangka panjang akan melampaui dampak negatif dalam jangka pendek tadi (hlm. 31-32).

Masih memakai data yang sama, studi ini mengakui bahwa keuntungan globalisasi bukan pada distribusi pendapatan yang merata di antara para buruh. Dengan dukungan dari studi-studi lain, Rama menegaskan bahwa ada peningkatan upah yang siginifikan berkaitan dengan pendidikan yang dimiliki oleh buruh. Semakin tinggi pendidikan sang buruh, rata-rata pertumbuhan remunerasi yang diterimanya semakin besar pula. Selain itu, investasi global telah mengurangi jurang perbedaan gender yang lebar dalam hal upah (hlm.12).

Lebih jauh, studi ini menunjukkan dampak positif lain dari integrasi di dalam pasar global. Hal yang menguntungkan tersebut adalah kenyataan penciptaan lapangan kerja di industri-industri yang berorientasi ekspor, seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Sebagian besar dari mereka merupakan perempuan-perempuan muda desa yang sebelumnya bekerja di sektor tradisional tanpa upah. Dengan kata lain, ada terjadi peningkatan hidup. Alasan ini dikemukakan untuk mengimbangi tuduhan bahwa liberalisasi ekonomi telah menyebabkan PHK besar-besaran terhadap buruh tetap, yang sebagian besar dari mereka bekerja di sektor yang selama ini diproteksi dan menikmati ‘hak-hak istimewa’, yakni sektor publik (pegawai negeri). Lagipula, tulisnya, sektor ini tidak berkaitan langsung dengan globalisasi (hlm.12-16).

Berkaitan dengan melonjaknya angka pengangguran yang sering kali dituduh sebagai salah satu akibat globalisasi, studi ini memberi penjelasan. Karena perusakan kerja (job destruction) berjalan lebih cepat daripada penciptaan kerja (job creation), langkah integrasi dengan ekonomi dunia mungkin harus menanggung konsekuensi logis dalam peningkatan angka pengangguran dalam jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi, sanggah studi ini, mereka yang menganggur karena akibat globalisasi hanya sebagian saja. Sebagian lagi adalah para mantan pegawai di sektor publik dan mereka yang tidak mencari pekerjaan tadinya yang sebelumnya beraktivitas di sektor informal.

Dampak negatif

Kampanye globalisasi ekonomi yang berkeyakinan bahwa perdagangan bebas akan memakmurkan negara yang mempraktikkannya, makin banyak diragukan[4]. Contoh termutakhir adalah proyek perdagangan bebas regional di Amerika Utara, NAFTA (North American Free Trade Agreement)[5] yang awal tahun lalu merayakan hari jadinya yang ke-10. Setelah satu dekade berjalan, Meksiko—negara yang paling kurang maju dibandingkan dua negara lain peserta NAFTA—hanya menikmati keuntungan di awal-awal tahun saja. Pertumbuhan ekonomi Meksiko cuma bergerak di 1 persen[6]. Jika dibandingkan dengan rentang masa sebelum era NAFTA, yakni tahun 1948 sampai dengan 1973, rata-rata pertumbuhan negeri ini justru sekitar 3,2 persen. Dulu harapannya, perjanjian perdagangan bebas regional ini akan mampu mengurangi kesenjangan pendapatan antara Amerika dan Meksiko. Nyatanya, perbedaan jurang tersebut justru makin besar, kira-kira 10,6 persen. Sementara itu angka kemiskinan tidak berkurang dan upah riil jatuh pada angka rata-rata 0,2 persen per annum (Stiglitz, 2004).

Lebih spesifik lagi pada isu perburuhan, agaknya para pemain utama di panggung drama globalisasi ekonomi tidak terlalu gembira jika kelas buruh (kerja) memiliki kekuatan yang sama dengan kelas majikan (modal). Mengapa demikian? Sebab yang terjadi adalah upaya sistematis dan terorganisir untuk ‘menjinakkan’ kekuatan sosial ini.

Salah satu upaya sistematis itu bisa dijejak dalam Laporan Perkembangan Dunia (World Development Report) tahun 1995, yang secara khusus mengangkat isu buruh dalam konteks globalisasi ekonomi. Laporan yang berjudul “Workers in an Integrating World” tersebut mengemukakan beberapa hal (lebih dari perspektif kepentingan modal) yang pada sisi lain merupakan dampak negatif bagi buruh.

Pertama, laporan tersebut mempersalahkan para buruh urban—yang cukup beruntung mengorganisasikan diri mereka dalam serikat-serikat buruh dengan tujuan meningkatkan upah dan kondisi kerja—namun berakibat negatif bagi para buruh lain di daerah rural (pedesaan) dan para buruh di sektor informal perkotaan.

Dasar pemikiran yang sama juga diterapkan di Indonesia. Beberapa studi tentang upah minimum (antara lain Rama, 2001; Suryadi et al., 2001) berkesimpulan bahwa kenaikan upah minimum memiliki dampak negatif pada industri kecil dan mereka yang beraktivitas di sektor informal. Konsekuensinya, penetapan upah minimum kemudian akan lebih bersifat kontraktual-individual dan terdesentralisasi.

Yang dilupakan dalam studi-studi tersebut adalah kenyataan bahwa kenaikan upah minimum bukan karena kemurahan pengusaha dan pemerintah melainkan hasil perjuangan keringat, airmata, dan bahkan darah kelompok-kelompok buruh.

Kedua, karena dihantui oleh munculnya kekuatan serikat buruh yang “monopolistik”, maka rekomendasinya berupa pen-desentralisasi-an perundingan hubungan kerja. Tujuannya adalah untuk meminimalisasikan kekenyalan perundingan yang dilakukan oleh serikat dengan majikan dan pemerintah.

Hal ini pun sudah nyata terjadi di Indonesia. Regulasi yang mempermudah pembentukan serikat pekerja, justru ternyata memperlemah soliditas gerakan buruh Indonesia karena menjadi sangat terfragmentasi. Sementara itu, perundingan-perundingan dalam hubungan industrial semakin diarahkan pada tingkat perusahaan. Kecenderungan ini sesungguhnya sebagai salah satu upaya untuk mengkerdilkan gerakan buruh sebagai salah satu kekuatan sosial dan politik bangsa.

Ketiga, kondisi pasar kerja yang kurang fleksibel, regulasi-regulasi yang memberatkan, kebijakan upah minimum, dan aturan-aturan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan pekerja diidentifikasi sebagai tambahan biaya bagi pengusaha. Alhasil, pengangguran meningkat karena penyerapan kerja menyusut. Ironisnya, menurut studi Dhanani (2004)—yang mencermati tren pengangguran di Indonesia dari tahun 1976 hingga tahun 2000—menunjukkan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi negeri ini bertumbuh sekitar 7-8 persen per tahun sejak pertengahan tahun 1970-an, salah satunya sebagai buah dari kebijakan liberalisasi ekonomi, justru tingkat pengangguran meningkat secara stabil pada angka 2-6 persen per tahun hingga tahum 1997.

Kebijakan pasar kerja yang lebih lentur kini juga menjadi salah satu kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (Bappenas, 2004)[7]. Harapannya, kebijakan ini akan lebih membuat investor tertarik dan lalu menyerap pengangguran terbuka yang sudah mencapai titik kritis pada angka 10 persen dari total angkatan kerja.

Keempat, para penganjur globalisasi ekonomi menolak mengaitkan antara hak-hak dasar buruh[8] yang sudah dikenal secara internasional dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan dan investasi internasional.

Hal ini menunjukkan watak asli kaum neo-liberal yang mendesakkan agar semua hak korporasi diberikan, dan segala kewajiban diberikan kepada negara, sementara tidak peduli terhadap hak-hak warga Negara, termasuk hak-hak dasar buruh.

Strategi

Berhadapan dengan kekuatan modal yang mengglobal dengan mobilitas yang tinggi dan licin tersebut, gerakan kelas pekerja memerlukan strategi baru. Sebagaimana modal yang sudah lebih dahulu bergerak transnasional (antarnegara), demikian pula kelompok buruh seyogyanya menyadari dan memasukkan agenda yang melampaui batas-batas negara dalam gerakannya. Berikut adalah beberapa di antaranya.

**Memasukkan standar perburuhan dalam kesepakatan perdagangan dan investasi.

Dipelopori oleh pemerintahan Bill Clinton[9], untuk pertama kalinya perjanjian perdagangan bebas regional (NAFTA) harus juga mengikutsertakan standar-standar perburuhan. Ketika itu Clinton mengusulkan dibentuk NAALC (North American Agreement on Labor Cooperation) sebagai kesepakatan paralel dengan perjanjian NAFTA.

Sementara itu untuk mengurangi dampak negatif dari globalisasi ekonomi terhadap buruh, di belahan benua Eropa muncul Piagam Sosial Eropa (European Social Charter). Piagam ini untuk mencegah praktik “social dumping” dalam perdagangan bebas global. Dengan kata lain, piagam sosial ini hendak mencegah rejim ekonomi internasional dan kompetisi investasi modal dari perendahan standar-standar buruh (dan lingkungan) di negera setempat. Atau dengan bahasa lain lagi, piagam ini menolak pemanfaatan standar sosial yang rendah sebagai keuntungan kompetetif (competitive advantage).

Diskusi soal piagam sosial ini juga sudah masuk ke Indonesia. ASEAN Trade Union Council (ATUC)[10] telah mempelopori percakapan tentang standar-standar buruh dan sosial untuk kawasan perdagangan bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area).

**Menyeimbangkan kekuatan.

Menurut Stiglitz (2000, 2002) efek negatif globalisasi pada buruh berakar pada tidak seimbangnya kekuatan (power imbalance) antara kerja dan modal. Konkritnya, kelas pekerja yang seringkali menjadi salah satu pihak utama yang terkena dampak dari kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, tidak hanya suara mereka tidak didengar tapi juga mereka tidak diberi tempat di lingkaran meja perundingan. Hal ini dimungkinkan karena kekuatan kelas pekerja sangat terfragmentasi baik di tingkat nasional, regional maupun global. Maka sesungguhnya tidak banyak pilihan strategi yang tersedia selain menggalang solidaritas global untuk menjadi kekuatan penyeimbang internasional terhadap kepentingan modal (Yates, 1998).

Dalam rangka ini gerakan kelas pekerja perlu merangkai kerja sama lintas sektoral (misalnya dengan gerakan lingkungan, gerakan gender) dan dengan gerakan-gerakan rakyat kecil lain (petani, nelayan, dan penganggur). Gerakan kelas pekerja bisa menjadi salah satu kekuatan penting yang mewujudkan “globalisasi yang berwajah lebih manusiawi”.

Industrialism has,

wherever it has appeared, produced some form of trade unionism and some kind of exclusive organization of the working class. In all industrialized countries in Europe, trade unions and the working class movement connected with them have formed the most lively defender of democracy. Even in Eastern countries

like Japan and India industrialism has produced

the need for trade unions and

trade unions are the beginning of democracy.

-- A.D. Lindsay. The Modern Democratic State (1943)

REFERENSI:

Bappenas. 2004. Agenda 100 Hari Pertama Kabinet Indonesia Bersatu: Dalam Kerangka Pembangunan Jangka Menengah (2004-2009).

Cowie, Jefferson. 1999. Capital Moves: RCA’s Seventy-Year Quest for Cheap Labor. New York: The New Press.

Dhanani, Shafiq. 2004. Unemployment and Underemployment in Indonesia, 1976-2000: Paradoxes and Issues. Geneva: International Labour Office.

George, Susan. 1999. A Short History of Neoliberalism. Paper dipresentasikan di Conference on Economic Sovereignity in a Globalising World (24-26 Maret). www.globalpolicy.org

International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan. Terjemahan. Yogyakarta: CPRC.

International Labour Organization. 1995. World Employment 1995. Geneva: ILO.

Levinson, Jerome I., 1995. A Missed Opportunity: The World Bank’s World Development Report 1995 – Workers in an Integrating World. International Labor Rights Fund. www.laborrights.org

Rama, Martin. 2001. “The Consequences of Doubling the Minimum Wage: The Case of Indonesia” dalam Industrial and Labor Relations Review 54(4): 864-81.

______ . 2003. Globalization and Workers in Developing Countries. World Bank Policy Research Working Paper 2958.

Sirait. G. Martin. 2003. “Subsidi dan Pemiskinan Global” dalam harian Kompas. 16 Oktober. (http://www.kompas.com/kompascetak/0310/16/opini/628687.htm)

Stiglitz, Joseph. 2000. Democratic Development as the Fruits of Labor. Keynote Address. Industrial Relations Research Association. January 25.

________ . 2002. Globalization and Its Discontents. New York: W. W. Norton.

________ . 2004. “The Broken Promise of NAFTA” dalam harian New York Times. 6 Januari.

Suryahadi, A. et. al. 2001. Wage and Employment Effects of Minimum Wage Policy in the Indonesian Urban Labor Market. SMERU Research Report. Jakarta. October.

Widianto, Bambang. 2004. Fleksibilitas Kebijakan Ketenagakerjaan. Makalah. Dipresentasikan pada Seminar “Implikasi Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja Terhadap Prospek Dunia Kerja di Kawasan Asia.” Unika Atma Jaya Jakarta. 9 Maret 2004.

World Bank. 1995. World Development Report: Workers in an Integrating World. New York: Oxford University Press.

Yates, Michael D. 1998. Why Unions Matter. New York: Monthly Review Press.


[1] Tulisan berikut merupakan edisi revisi dari kertas kerja yang pernah dipresentasikan pada kursus “International Labour Standard” (28 Januari 2005) di Cipayung Bogor, Jawa Barat. Acara ini diselenggarakan oleh Trade Union Rights Center (TURC) dan diikuti oleh para aktivis serikat buruh.

[2] Peneliti pada Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) dan pengajar di Fakultas Ekonomi Program Studi Pembangunan, Unika Atma Jaya Jakarta

[3] Kisah ini diambil dari Cowie (1999, 1)

[4] Diskusi yang sangat berbobot soal ini bisa dinikmati dalam buku Stiglitz (2002); lihat juga International Forum on Globalization (2003). Untuk kasus pertanian, lihat Sirait (2004)

[5] Perjanjian perdagangan bebas regional ini terdiri dari 3 negara, yakni Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.

[6] Sebagai perbandingan, selama dekade NAFTA tersebut negara-negara Asia Timur yang sedang dilanda krisis ekonomi justru menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Korea dan China, misalnya, tumbuh masing-masing sekitar 4,3 persen dan 7 persen.

[7] Dalam bagian prioritas pembangunan 5 tahun yakni penciptaan lapangan kerja dan perlindungan tenaga kerja, agenda 100 Hari Pertama Kabinet Indonesia Bersatu adalah “Perbaikan PP dan Kepmen dalam rangka menciptakan pasar kerja yang lebih luwes”. Lihat juga Widianto (2004).

[8] Hak-hak dasar tersebut meliputi (a) hak untuk berserikat, (b) hak untuk berunding secara kolektif, (c) hak untuk mogok. Kadangkala larangan untuk kerja paksa, larangan untuk mempekerjakan buruh anak, upah minimum, dan tempat kerja yang aman dianggap sebagai bagian dari hak dasar tersebut.

[9] Tentu hal ini terjadi karena desakan federasi kelompok buruh Amerika (AFL-CIO) yang secara historis menjadi pendukung Partai Demokrat, partai asal Clinton. Kemudian Kongres Amerika membuat legislasi “Omnibus Trade and Competetiveness Act (1998)” . Salah satu isinya adalah mendesak para pejabat Amerika yang duduk di lembaga-lembaga finansial internasional untuk menganjurkan negara-negara peminjam menghargai hak-hak dasar buruh di negaranya masing-masing.

[10] Teks Piagam Sosial ASEAN dapat dilihat di www.ASEAN-SocialCharter.net


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?