Wednesday, September 06, 2006

BURUH DAN FLEKSIBILITAS PASAR KERJA

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi I

Oleh : Yusuf Radiyono[i]

Di tengah-tengah makan malam, pada sebuah pertemuan aktivis perburuhan, seorang ketua Serikat Buruh (SB) dari sebuah pabrik milik pengusaha asing di sebuah daerah mengajak untuk berdiskusi.

Ketua SB tersebut bercerita, pada beberapa bulan lalu, pengusaha mengundangnya untuk mendiskusikan langkah perusahaan untuk memberikan insentif bagi buruh permanen yang bersedia mengajukan pengunduran diri secara dini. Ketua SB tertarik dengan niat baik pengusaha tersebut, dan segera mensosialisasikan gagasan tersebut kepada buruh-buruh konstituennya.

Mayoritas buruh permanen menyambut baik gagasan tersebut, dan segera mereka secara bergelombang mengajukan pengunduran diri. Apakah mereka yang mengajukan pengunduran diri mesti keluar dari pabrik sesudah itu? Tidak. Pengusaha masih memiliki ‘niat baik,’ mereka tetap dipekerjakan namun dengan status kontrak. Kontrak yang ditawarkan berjangka waktu satu tahun, dan pengalaman kerja dianggap nol tahun.

Seorang aktivis lain di Surabaya juga bertutur, dan dibenarkan oleh aktivis yang lain, di beberapa pabrik milik pengusaha domestik di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya, kontrak kerja semakin hari semakin pendek. Bahkan, pada bulan-bulan terakhir ini kontrak yang ditawarkan hanya berjangka waktu satu bulan. Tiap akhir bulan pada saat gajian, ada pengumuman berisi daftar buruh yang kembali dipekerjakan. Daftar tersebut sekaligus berarti bukti ‘pembaharuan kontrak kerja.’

Seorang aktivis dari Bogor juga bercerita bahwa di daerah Cibinong, Jawa Barat tumbuh secara dramatis usaha-usaha tingkat rumah tangga dengan buruh tidak lebih banyak dari jumlah jari tangan. Mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu di bidang garmen yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan skala besar.

Aktivis tersebut kemudian bertanya pada saya, kurang-lebih dapat dirumuskan secara singkat begini: “Apakah kecenderungan hubungan industri seperti di atas ada hubungan dengan LMF?”

☺☺☺☺☺

LMF (Labour Market Flexibility) selalu dibandingkan dengan labour market rigidities atau rigiditas pasar kerja sebagai dua kutub yang berlawanan. Kelenturan versus kekakuan.

Deakin dan Reed (2002) mendiskripsikan fleksibilitas di tingkat mikro sebagai berikut: fleksibilitas numerik (keleluasaan mengatur jumlah buruh yang dipekerjakan); fleksibilitas jam kerja (keleluasaan mengatur jumlah jam kerja normal dan lembur); fleksibilitas finansial (keleluasaan menentukan upah terkait langsung dengan keluaran buruh); dan fleksibilitas fungsional (keleluasaan buruh dengan ketrampilan beragam untuk berpindah dari satu tugas ke tugas yang lain dan menyesuaikan diri terhadap perubahan teknologi dan persyaratan organisasi).

Di tingkat makro fleksibilitas dapat dipandang sebagai kondisi semakin berkurangnya intervensi negara atas pasar kerja. Dalam pandangan ini, buruh adalah komoditas, dan pasar bebas adalah mekanisme paling efisien untuk alokasi dan penilaian atas harga buruh. Tingginya angka pengangguran dapat teratasi seturut dengan mundurnya negara dari pasar kerja. Dengan kata lain, campur tangan negara adalah sebagian dari masalah.

Reformasi pasar, termasuk pasar kerja, adalah agenda yang mesti dikedepankan sebagai cara adaptasi terhadap perdagangan yang saat ini telah melintasi batas-batas negara.

Kata kuncinya adalah setiap negara mesti membuka pasar domestik dan, terutama, mempercepat pertumbuhan ekonomi mereka lewat jalur perdagangan internasional. Singkatnya, perlunya kebijakan-kebijakan yang mengabdi pada pasar; liberalisasi perdagangan dan arus modal; reorientasi partisipasi negara dalam ekonomi; penurunan peran negara dalam mengatur; dan secara umum, kemunculan pasar yang lebih bebas.

Situasi global yang sulit diprediksikan ini memaksa organisasi kerja harus memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap situasi eksternal. Dalam era kompetisi seperti di atas buruh mestinya memiliki mobilitas yang tinggi secara geografis, maupun secara sektoral (Kucera, 1998). Pandangan bahwa buruh mesti memiliki mobilitas yang tinggi tentu saja tidak akan memperkarakan fakta bahwa teknologi yang ada bersifat menggantikan peran buruh. Untuk itulah, industri mesti diberi kemudahan untuk menjalin kerjasama dengan buruh yang bersifat fleksibel, dan perlu dilakukan deregulasi kebijakan perburuhan.

Hubungan kerja yang rigid akan menyulitkan sebuah industri untuk melakukan restrukturisasi. Resep ini juga diberikan kepada pengambil kebijakan negara-negara Eropa Barat. Bagi sebagian pengamat, kebijakan perburuhan yang rigid adalah kata kunci yang mendasari alasan mengapa produk Eropa Barat kalah kompetitif ketimbang AS atau Jepang.

Namun, pandangan semacam ini tidak sepenuhnya benar. Kebijakan yang rigid menghasilkan keluaran yang berbeda. Kasus Portugal persis memperlihatkannya.

Singkatnya, Portugal adalah sebuah teka-teki; tingkat rigiditas regulasi perburuhan negara ini paling tinggi ketimbang negara-negara industri OECD yang lain. Pada akhir 1980-an Portugal menduduki peringkat terakhir dari 19 negara yang masuk OECD dalam soal rigiditas. Hal yang sama sekali lagi terjadi pada akhir 1990-an; Portugal menduduki peringkat terakhir dari 26 negara OECD. Namun, mengherankannya, tingkat pengangguran di negara ini dapat dikategorikan rendah.

Da Silva Lopes (2001) berpendapat bahwa dualisme pasar tenaga kerja di Portugal adalah jawaban teka-teki di atas. Dualisme ekonomi memiliki sumbangan terhadap keluaran kebijakan tersebut. Secara sederhana, ada sebuah wilayah ekonomi yang secara ketat dikendalikan oleh regulasi, sementara sebuah wilayah ekonomi yang lain seakan-akan hadir di tengah rimba belantara.

Pada umumnya, perusahaan skala kecil dan menengah inilah yang berada di luar jangkauan pelaksanaan regulasi yang rigid, dan diam-diam menyemai fleksibilitas. Sementara, rigiditas hanya berlaku di sektor publik dan di perusahaan besar. Separoh buruh di Portugal bekerja di sektor yang tidak terjangkau oleh penerapan kebijakan yang rigid di atas.

Lepas dari silang-pendapat di atas, implikasi terpenting dari seluruh kecenderungan ini adalah munculnya perasaan ketidakamanan secara ekonomis yang dialami oleh banyak individu di negara-negara maju tersebut, terutama yang dialami oleh individu yang hidup di sebuah negara dengan proteksi sosial yang rendah.

Studi perbandingan atas pengalaman 13 negara di Eropa menunjukkan bahwa ketidakamanan secara ekonomis sebagian disebabkan oleh pengalaman individu terhadap perubahan fundamental pasar kerja dan ketergantungan negara terhadap ekonomi internasional (Anderson, nd).

Betapa tidak. Sulit bagi setiap individu di tengah-tengah pasar kerja yang lentur untuk merencanakan masa depannya. Mereka tidak lagi dapat menyandarkan diri pada perlindungan negara. Tidak juga pada perusahaan dimana mereka bekerja. Mereka harus menyandarkan diri pada kemampuan mereka menyesuaikan dengan kondisi yang terus berubah. Bagi individu-individu yang memasuki usia tidak produktif, jelas perubahan fundamental di pasar kerja adalah sebuah malapetaka.

☺☺☺☺☺

Di Amerika Latin, misalnya, LMF sudah jauh-jauh hari diperkenalkan dalam satu paket reformasi ekonomi berorientasi pasar. Serangkaian reformasi ekonomi dengan semangat neoliberal, dan kemudian diikuti oleh reformasi hukum perburuhan, dimulai pada saat rezim militer Augusto Pinochet di Chile berkuasa pada tahun 1973 setelah melakukan kudeta pemerintah demokratis Salvador Allende. Augusto Pinochet melakukannya jauh hari sebelum Margaret Thatcher berkuasa di Inggris pada tahun 1979 dan Ronald Reagan di AS dan melakukan revolusi neoliberal.

Tentu saja, reformasi ekonomi yang persis mempengaruhi kondisi kesejahteraan buruh ini mendapat tentangan dari kaum kiri. Organisasi buruh di Chile menjadi bagian penting dari perlawanan tersebut. Namun demikian, di dalam situasi represif perlawanan organisasi buruh tidak secara signifikan dapat merubah kebijakan yang telah ditetapkan.

Secara umum, selama periode industri substitusi impor, kebijakan perburuhan dirumuskan menurut model perlindungan sosial. Dengan model ini, negara berperan sebagai mediator di antara dua kubu, yaitu buruh versus modal, dan melindungi buruh melalui serangkaian kebijakan yang memberikan jaminan atas pekerjaan (baca: membuat pemutusan hubungan kerja menjadi sulit dan mahal).

Dengan serangkaian deregulasi, pengusaha menikmati tumbuhnya fleksibilitas yang memudahkan mereka untuk menyesuaikan tenaga kerja mereka terhadap kondisi-kondisi yang diciptakan oleh tekanan kompetisi internasional dan perubahan teknologi.

Reformasi kelembagaan juga menguntungkan pengusaha, mengingat pengurangan subsidi negara ke organisasi buruh menyebabkan proses depolitisasi, yaitu organisasi buruh pelan-pelan kehilangan pengaruh politiknya dalam perundingan kolektif. Kontrak kerja yang bersifat fleksibel menyulitkan pertumbuhan jumlah anggota organisasi buruh lantaran status buruh bersifat temporer.

Ironisnya, di negara-negara tetangganya, reformasi ekonomi dengan semangat neoliberalisme justru diperkenalkan oleh partai sayap kiri yang tengah berkuasa pada saat itu. Tiga serangkai Carlos memperkenalkan reformasi ini di negara masing-masing.

Partai sayap kiri memiliki ‘keunggulan komparatif’ dibanding sayap kanan dalam menerapkan reformasi pasar. Partai sayap kiri akan mendapatkan dukungan dari pihak yang diuntungkan reformasi tersebut (misalkan saja, para eksportir, para pemilih yang menimbang efisiensi sebagai prioritas, partai sayap kanan yang menjadi pesaingnya itu sendiri, dan bahkan pihak yang potensial menderita akibat kebijakan ini, misalnya sektor ekonomi yang sebelumnya terproteksi yang kini tersaingi oleh produk impor, serikat buruh, dan masyarakat perkotaan, yang sesungguhnya memiliki kedekatan dengan sayap kiri dari sisi sejarah).

Carlos Menem dari PJ (Partai Peronis) memulainya di Argentina pada tahun 1989, Carlos Salinas de Gortari dari PRI (Partai Revolusioner Institusional) di Meksiko, dan Carlos Andres Perez dari AD (Aksi Demokratik) di Venezuela di tahun 1989 serentak menapak jejak yang sama yang dilalui Carlos Menem, kendati mereka bertiga banyak menjanjikan kebijakan-kebijakan populis sebelum berkuasa dan di tengah-tengah kampanye. Pragmatisme nampaknya juga menyebar ke negara tetangga mereka.

Kedekatan partai penguasa kiri dengan organisasi buruh membuat reaksi aktivis organisasi buruh tidak seragam menghadapi reformasi ekonomi. Banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang menolak.

Respon yang bervariasi terhadap penerapan reformasi ekonomi sedikit banyak telah mementahkan pandangan pesimis bahwa organisasi buruh tidak mampu untuk melindungi kepentingan mereka dalam menghadapi reformasi ekonomi. Bahkan, di negara demokratis yang dipimpin oleh partai yang mendapat dukungan dari kelas buruh sekalipun.

Jika saja kepentingan buruh semata merupakan faktor penjelas, reformasi pasar jenis lain juga mestinya bisa dijalankan secara mulus. Belajar dari pengalaman negara-negara demokratis di Eropa Timur dan Selatan serta Amerika Latin, ada berbagai variasi penerapan reformasi ekonomi, entah dari aspek keluasan maupun kecepatannya (Murillo, 2001).

Namun, terhadap kebijakan yang terkait langsung dengan hajat hidup buruh, sikap pemimpin organisasi buruh dan konstituennya praktis agak seragam, kendati penolakan terhadap reformasi kebijakan jaminan sosial dan jaminan atas pekerjaan lebih dilandasi oleh pertimbangan pragmatis ketimbang ideologis.

Murillo (2001: 173-204) dengan menarik menyatakan bahwa reformasi berorientasi pasar adalah ‘kebutuhan’ yang diprovokasi oleh tekanan kompetisi perdagangan internasional dengan mengabaikan ‘rasa’ sebagai inspirasi preferensi ideologis di antara para pemimpin negara-negara Amerika Latin.

Regulasi pasar tenaga kerja ditujukan untuk memperbaiki kesejahteraan buruh. Program jaminan sosial diharapkan memperbaiki keamanan pendapatan buruh pada saat buruh tersebut sakit, mengalami kecelakaan kerja, dan menjalani usia pensiun. Sementara, program jaminan keamanan atas pekerjaan didesain untuk mengurangi resiko buruh pada saat buruh tersebut kehilangan pekerjaan.

Studi yang dilakukan oleh Heckman dan Pages (2000) justru memperlihatkan kaitan sebaliknya bahwa kebijakan jaminan keamanan atas pekerjaan ternyata mengurangi peluang kerja dan meningkatkan kesenjangan antara buruh di Amerika Latin. Keuntungan atas keberadaan kebijakan ini lebih dinikmati oleh buruh yang masih bekerja, namun merugikan angkatan kerja baru yang belum bekerja dan kelompok-kelompok marginal (perempuan dan buruh tidak terampil). Dengan cara pandang seperti inilah deregulasi pasar kerja dilakukan sebagai bagian dari reformasi ekonomi.

Akan tetapi, penolakan buruh tidak masif dan tidak cukup terorganisir untuk dapat mengganjal paket utama neoliberalisasi: kebijakan stabilisasi, perdagangan bebas, maupun privatisasi; atau bahkan menjungkalkan pemerintah yang tengah berkuasa. Dua kali pemerintah sah Carlos Perez terancam oleh kudeta oleh kaum kiri radikal yang dirugikan oleh kebijakan-kebijakan ekonomi yang jauh dari kesan populis (Murillo, 2001: 57).

Tidak ada jalan lain, demikian Perez, menjelaskan mengapa reformasi ekonomi berorientasi pasar yang dipilih. Eksperimen kaum kiri lewat kebijakan industri substitusi impor dan pembangunan yang dipimpin negara telah menyebabkan ekonomi di Amerika Latin limbung. Janji-janji sorga yang pernah didengungkan oleh kaum kiri tidak pernah berwujud. Kebuntuan seperti inilah yang memaksa pemerintahan kiri menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal.

Kasus Venezuela. CTV (Konfederasi Buruh Venezuela) tidak menolak kebijakan liberalisasi perdagangan. Mengabaikan akibat liberalisasi perdagangan atas pekerjaan dan restrukturisasi industri, dengan lugas mantan pemimpin CTV Juan Jose Delpino mengatakan bahwa liberalisasi tarif impor tidak mempunyai dampak terhadap buruh.

Liberalisasi perdagangan jelas-jelas memukul sektor yang sebelumnya diproteksi, kendati depresiasi nilai tukar memberikan kompensasi pada sektor tersebut. Antara 1988 dan 1994, jumlah perusahaan jatuh dari 11.043 menjadi 8.891, dan jumlah pekerjaan turun dari 509.908 menjadi 441.016. Namun, CTV pada akhirnya mendukung setelah mendapat kompensasi bahwa privatisasi tidak menyentuh pada wilayah strategis dan melibatkan partisipasi buruh dan serikat buruh dalam kepemilikannya. Sementara, CTV tidak cukup antusias menanggapi reformasi jaminan sosial.

Namun, terhadap fleksibilitas buruh dan regulasi organisasi buruh, CTV menuntut pemerintah tetap untuk memberikan perlindungan terhadap buruh. Dalam hal ini CTV aktif terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut dan mendukung langkah Senator Rafael Caldera, yang menjadi oposan terhadap partai berkuasa pada saat itu.

Pada 1990 sesudah CTV mengorganisir demonstrasi, konggres mensahkan kebijakan tersebut. Pemerintah menyetujui undang-undang ini untuk menghindari ancaman veto dari konggres. Singkatnya, rigiditas mewarnai pasar kerja pada saat reformasi ekonomi.

Kasus Meksiko. Sejak diperkenalkan reformasi ekonomi, buruh mendapat pukulan yang berarti ditandai dengan penurunan upah riil dan subsidi negara atas kebutuhan pokok dan pelayanan publik. Di Meksiko Konfederasi Pengusaha Meksiko (Coparmex) menuntut deregulasi pasar tenaga kerja dan pengurangan kekuasaan organisasi buruh dalam perundingan kolektif.

Proposal yang ditawarkan konfederasi ini adalah pembatasan aksi mogok, individualisasi perundingan upah, dan pengurangan pengaruh serikat buruh di pabrik. Sementara, pada saat yang bersamaan CTM (Konfederasi Buruh Meksiko) menuntut perubahan dalam kebijakan perburuhan untuk memfasilitasi organisasi buruh terutama di sektor publik.

Konfederasi serikat buruh yang berafiliasi dengan PRI bergabung dengan CTM menolak reformasi dengan mengatakan bahwa kebijakan itu lebih menguntungkan modal dan pengusaha. Terhadap kebijakan stabilisasi, CTM gagal memperjuangkan kenaikan upah, sementara organisasi buruh lain tidak merubah dukungannya pada kebijakan stabilisasi, dan bahkan melakukan boikot terhadap tuntutan kenaikan upah oleh CTM.

Kendati para pemimpin CTM berpikir bahwa liberalisasi perdagangan ini akan merugikan konstituennya, mereka tetap mendukungnya. Terhadap privatisasi, walaupun tidak memperoleh kompensasi yang setimpal, CTM mendukung kebijakan ini. Sementara, penolakan CTM tidak mendapat dukungan organisasi buruh lain, misalnya dari CROC (Konfederasi Buruh dan Petani Revolusioner) terhadap kebijakan fleksibilitas.

Kasus Argentina. CGT (Konfederasi Buruh Argentina) menerima stabilisasi, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi, namun menolak restriksi pada perundingan upah. Terhadap kebijakan stabilisasi, CGT mendukung. Penolakan CGT hanya terbatas pada pengendalian upah. Pada 1993 pemerintah memutuskan desentralisasi perundingan upah di tingkat pabrik. Terhadap perdagangan bebas, CGT menuntut pembukaan secara gradual. Terhadap privatisasi CGT mendukungnya.

Harapan pemerintah maupun pengusaha atas fleksibilitas terganjal dengan terbitnya kebijakan perburuhan yang sangat moderat. Di tahun 1994 pemerintah, pengusaha, dan CGT mencapai kesepakatan untuk memfasilitasi kontrak kerja temporer, jam kerja yang lebih fleksibel untuk perusahaan skala kecil dan menengah, dan membatasi uang pesangon.

Namun, keinginan pengusaha untuk mendesentralisasikan perundingan kolektif ke tingkat perusahaan ditolak, karena kebijakan ini akan mengurangi kekuatan politis CGT di dalam pabrik.

Singkatnya, fleksibilitas pasar tenaga kerja yang terjadi pada periode 1991-1994 berubah menjadi rigiditas sejak 1998, kebijakan ketenagakerjaan nasional yang disahkan pada 1991 yang memberikan kemudahan bagi kontrak kerja bersifat temporer dan masa percobaan dibatalkan oleh Konggres pada 1998. Tentangan muncul dari asosiasi pengusaha, IMF, kementrian keuangan, dan serikat buruh oposan lain yang menolak monopoli CGT dalam perundingan kolektif.

Preferensi partisan dan warisan kelembagaan merupakan faktor utama yang dapat menjelaskan mengapa terjadi banyak penundaan atau pembatalan deregulasi yang mengarah pada fleksibilitas pasar kerja.

Pertimbangan pragmatis seperti inilah yang menyebabkan liberalisasi pasar secara relatif berlangsung mulus, sementara perubahan kebijakan yang mengotak-atik langsung kehidupan buruh dan organisasi buruh terjadi berlarut-larut dan cenderung berubah sesuai dengan dinamika politik yang terjadi pada saat itu. Yang dimaksud dengan kebijakan di atas adalah masalah kontrak kerja temporer, pengendalian upah, desentralisasi perundingan kolektif, pembatasan pemogokan, kemudahan PHK, perubahan jaminan sosial yang mengarah pada fleksibilitas.

Di Eropa Selatan, terutama di Spanyol, gagasan neoliberalisme juga diperkenalkan oleh PSOE (Partai Sosialis) yang tengah berkuasa pada masa itu, kendati sesungguhnya gagasan ini secara bertahap telah dijalankan oleh PM Adolfo Suarez segera setelah robohnya kekuasaan rezim militer Jendral Francisco Franco.

Penolakan terhadap kebijakan ini memang terjadi namun hanya terbatas di kalangan Partai Komunis dan SB Komunis (CCOO) yang merupakan minoritas dan tidak populer di kalangan masyarakat. UGT (Konfederasi Buruh Spanyol) dan organisasi buruh di luar CCOO dan Asosiasi Pengusaha membuat Pacto Social yang isinya mendukung pelaksanaan neoliberalisasi.

Kasus Spanyol memperlihatkan keterlibatan serikat buruh memungkinkan proses stabilisasi berjalan mulus dan, terutama, pemerintah tidak kehilangan kredibilitas atas dampak-dampak kebijakan stabilisasi.

Pertemuan tripartite antara pemerintah, SB, dan asosiasi pengusaha menelorkan pakta sosial berisi kesepakatan bersama antara dua pihak terakhir untuk tidak memberikan respon yang radikal terhadap kebijakan negara. Masing-masing pihak, tentu saja, mendapat konsesi tertentu atas sikap moderat yang diambil mereka.

UGT yang menjadi pendukung PSOE mendukung sepenuhnya garis kebijakan ekonomi yang dibuat oleh PM Felipe Gonzales. Ketimbang menciptakan 800.000 kesempatan kerja, Gonzalez mengadopsi stabilisasi makroekonomi, restrukturisasi industri, deregulasi pasar tenaga kerja, dan reformasi pensiun.

Ada 27 kebijakan liberalisasi yang secara ofensif memperkenalkan fleksibilitas pasar tenaga kerja melalui deregulasi dan pengurangan sumbangan pengusaha pada jaminan sosial. Sebagai salah satu akibat dari fleksibilitas ini, pertumbuhan buruh kontrak membumbung tinggi. Pada kurun waktu 1985-1997 proporsi buruh kontrak di Spanyol meningkat sekitar tiga kali lipat, dari 11 persen menjadi 34 persen (Francesconi & Garcia-Serrano, 2002: 2). Liberalisasi ini mesti dibayar dengan mahal; pelan-pelan kerjasama historis antara partai sosialis PSOE dan serikat buruh UGT mengalami keruntuhan.

☺☺☺☺☺

Ada beberapa kemiripan mendasar dalam introduksi LMF di Indonesia seperti pengalaman di negara-negara tersebut di atas. Ada semangat dalam kedua kebijakan perburuhan mutakhir untuk melepaskan peran negara dalam perlindungan terhadap buruh dan membiarkan seluruh dinamika hubungan industrial mengikuti logika pasar.

Di Indonesia paling tidak upah minimum, proses PHK yang panjang, pembatasan jam kerja normal dan kerja kontrak merupakan saluran bagi negara untuk memberi proteksi pada buruh. Saluran-saluran perlindungan ini nampaknya terancam tergerus. Beberapa studi tentang upah dan hubungan industrial (SMERU, 2001 & 2002; Suryahadi et al., 2003) telah jauh-jauh hari memberikan pembenaran terhadap kebutuhan deregulasi pasar kerja.

Bagi para pendukung pasar bebas UU perburuhan yang ada menimbulkan kesan bahwa proteksi terhadap buruh masih mendapat ruang. Namun demikian, persis yang terjadi di Portugal, realitas di lapangan menampilkan wajah yang fleksibel.

Pelanggaran atas kebijakan perburuhan di Indonesia masih memperlihatkan bahwa ketaatan pengusaha untuk memberikan hak-hak normatif saja masih dalam tingkat yang memprihatinkan.

Ilustrasi yang diberikan oleh aktivis SB dan LSM memperlihatkan sebuah ironi; kebijakan kontrak sudah terjadi di lapangan kendati UU yang mengatur soal ini masih dalam perdebatan dan dalam proses pengesahan.

Fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang unik. Pengalaman di Portugal memperlihatkan betapa pun rigid sebuah kebijakan perlindungan terhadap buruh tidak secara signifikan membendung derasnya penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Di tingkat mikro, perusahaan skala kecil dan menengah, yang memiliki kontribusi sekitar 50 persen penyediaan lapangan kerja, menjalankan revolusi secara diam-diam strategi restrukturisasi organisasi produksi. Ketidaktaatan perusahaan terhadap kebijakan dan penerapan kebijakan yang lemah secara simultan meloloskan strategi ini di tengah-tengah rambu-rambu perlindungan buruh (Da Silva Lopes, 2001).

Proses informalisasi proses produksi industri modern merupakan dampak paling serius dialami buruh. Implikasi bagi buruh, terutama buruh perempuan, dengan mudah dapat ditebak. Dengan skala produksi yang kecil yang menyebabkan kebijakan perburuhan sulit dapat menyentuhnya, perlindungan buruh menjadi sangat lemah; upah seringkali dibayar di bawah ketentuan upah minimum, tidak ada kontrak kerja yang jelas, dan tidak ada pula tunjangan-tunjangan yang mestinya terkait dalam kebijakan perlindungan buruh.

Kalau demikian realitas yang begitu fleksibel terjadi di lapangan, mengapa repot-repot fleksibilitas pasar kerja mesti dipaksakan?

Daftar Pustaka:

Anderson, Christopher, “Economic Insecurity in Comparative Perspective,” Centre on Democratic Performance, Binghamton University, SUNY, nd.

Deakin, Simon & Hannah Reed, “The Contested Meaning of Labour Market Flexibility: Economic Theory and the Discourse of European Integration,” ESRC Centre for Business Research – University of Cambridge, Working Paper 162, Maret 2002.

Francesconi, Marco & Carlos Garcia-Serrano, “Unions, Temporary Employment and Hours of Work: A Tale of Two Countries.” University of Essex: ISER Working Paper Number 2002-3, 2002.

Heckman, James J. & Carmen Pages, “The Cost of Job Security Regulation: Evidence from Latin America Labour Market.” NBER Working Paper No. 7773, June 2000.

Kucera, David, “Unemployment, Internal and External Labour Market Flexibility: A Comparative View of Europe, Japan, and the United States,” New School for Social Research: CEPA Working Paper series I no. 11, October 1998.

Lopes, Jose Da Silva, “The Role of the State in the Labour Market: Its Impact on Employment and Wages in Portugal as Compared with Spain. Centre for European Studies Working Paper no. 90, 2001.

Murillo, Maria Victoria, Labour Unions, Partisan Coalitions, and Market Reforms in Latin America. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

SMERU, “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia,” Oktober 2001.

SMERU Research Report, “Industrial Relations in Jabotabek, Bandung, and Surabaya during the Freedom to Organise Era.” Jakarta: SMERU, 2002.

Suryahadi, Asep et al. “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector,” Buletin of Indonesian Economic Studies, 39 (1), April 2003.



[i] Aktivis perburuhan. Bekerja dan tinggal di Jogjakarta.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?