Wednesday, September 06, 2006

BURUH KITA HARUS KE MANA?


Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi II

Oleh : I. Wibowo


“Buruh” di sini didefiniskan secara sempit, yaitu mereka yang bekerja di pabrik-pabrik, baik milik modal dalam negeri ataupun milik modal asing. Dalam buku statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik, yang dapat masuk dalam definisi itu adalah mereka yang bekerja di “industri pengolahan” dan “pertambangan dan penggalian.” Untuk kategori yang pertama terdapat 7.290.375 dan yang kedua ada 444.814 (BPS, Agustus 2003: hlm. 51). Bisa diperkirakan di seluruh Indonesia ada 7.735.189 juta buruh. Mereka yang bekerja di industri manufaktur terdiri dari 4.773.442 laki-laki dan 2.516.938, sementara mereka yang bekerja di pertambangan terdiri dari 420.097 laki-laki dan 24.717 perempuan. Jumlah ini dapat dikatakan kurang mencerminkan kenyataan karena tidak termasuk mereka yang bekerja di perkebunan, perusahaan listrik, jasa keuangan. Biro Pusat Statistik sendiri tidak memuat kategori “buruh,” sebuah kategori yang mungkin bermuatan ideologis. Untuk keperluan makalah ini jumlah 7,7 juta buruh kiranya cukup sebagai titik tolak pembicaraan, terutama mereka yang terjun dalam manufaktur.

Konflik perburuhan sudah sejak lama ada di Indonesia, baik Orde Lama maupun Orde Baru. Konflik itu menyangkut aneka hal, tetapi pada umumnya berkenaan dengan upah. Kendati ada ketentuan upah minimum, banyak perusahaan melanggar ketentuan ini. Namun akhir-akhir ini konflik juga makin melebar sehubungan diterapkannya kebijakan Labor market flexibility” yang secara konkrit berarti memperbanyak buruh kontrak. Hal ini membawa dua konsekuensi. Pertama, karena tuntutan untuk fleksibel itu, maka buruh mudah dipecat tanpa pesangon. Kedua, UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa serikat buruh hanya dapat didirikan oleh buruh tetap, sementara sebagian besar buruh kontrak ditelantarkan. (Laporan oleh “Forum Pendamping Buruh Nasional,” Desember 2004)

Oleh karenanya, tidak mengherankan bahwa terjadi kemarahan dan frustrasi, yang memuncak dalam berbagai unjuk rasa dan demonstrasi. Di beberapa bahkan sudah terjadi pemogokan yang disusul dengan konflik langsung antara buruh dan majikan. Pemecatan dipakai untuk mengatasi situasi konflik ini. Pertanyaannya: di mana tempat gerakan buruh sekarang? Pertanyaan ini mengemuka dengan cepat karena di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Walaupun gerakan buruh itu penting, ternyata gerakan buruh bukan satu-satunya “gerakan sosial” yang ada. Di sampingnya ada gerakan kaum perempuan, gerakan lingkungan, gerakan anti diskriminasi, gerakan perlindungan anak, gerakan anti perang, dsb. Ini berakibat bahwa gerakan buruh hanya menjadi “satu dari antara banyak” gerakan sosial. Jelas ini merupakan perkembangan baru, yang tidak pernah dibayangkan orang seratus tahun yang lalu, bahkan oleh Karl Marx sekalipun.

Lebih jauh lagi, gerakan buruh acap kali berjalan tidak searah dengan, atau bahkan sering bertabrakan dengan gerakan-gerakan lain. Misalnya, gerakan buruh tidak sinkron dengan gerakan perlindungan lingkungan. Atau, gerakan buruh tidak kompak dengan gerakan anti diskriminasi. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh FPBN di Batu (Februari 2005) sengaja saya lemparkan pertanyaan: “Apakah buruh akan tetap bekerja di sebuah perusahaan yang mencemari lingkungan, walaupun digaji tinggi?” Para hadirin nampak tertegun, beberapa orang spontan mengatakan “tidak.”

Pengalaman di negara-negara lain memperlihatkan bahwa gerakan buruh kini makin merapat dengan gerakan-gerakan lain. Ini nampak jelas dalam sebuah peristiwa besar yang terjadi pada penghujung abad ke-20, yaitu demonstrasi “anti-globalisasi” di Seattle, Amerika Serikat (1999). Dalam demonstrasi yang berhasil menggagalkan konferensi WTO, bergabung semua kelompok progresif dari segala isu. Kelompok pejuang buruh berdiri bahu-membahu dengan kelompok pejuang lingkungan, pejuang perempuan, pejuang hak binatang, pejuang hak kaum gay-lesbian, dst. Spektrum ideologi yang memayungi para pejuang itu tidak seragam (ideologi kelas buruh). Sedemikian hiruk-pikuk demonstrasi di Seattle itu sehingga tidak heran kalau wartawan media global mengejek mereka sebagai “gerakan anarkis.”

Fenomen yang sama juga nampak di “World Social Forum,” baik yang di Porto Allegre, Brazil maupun di Mumbai, India. Ini benar-benar sebuah lapangan (forum) tempat bertemunya segala macam kelompok yang sekarang dinamai “progresif.” Perjuangan mereka terdiri dari banyak kelompok sosial yang diikat dengan semangat melawan arus neoliberalisme yang mengatakan “There Is No Alternative” dengan arus tandingan “Another World Is Possible.” Di Mumbai (2004) gerakan buruh harus berdampingan, misalnya, dengan gerakan kaum “Dallit” yaitu kelompok yang paling tersingkir di India.

Di Indonesia jelas nampak ada kecenderungan serupa. Pada saat ini terdapat aneka macam LSM yang bergerak di berbagai macam isu. Kini sedang diusahakan untuk membentuk “Indonesia Social Forum” yang tidak berbeda dari “World Social Forum” cuma dalam skala lebih kecil, Indonesia. Serikat buruh masuk di dalamnya, tetapi juga aneka macam kelompok lain. Memang betul bahwa di Indonesia gerakan-gerakan itu masih belum naik ke permukaan sehingga dilihat oleh semua orang, seperti gerakan buruh. Pada umumnya mereka masih low profile.

Walaupun sudah lama muncul tapi akhir-akhir ini makin orang di seluruh dunia makin ramai bicara tentang “new social movements” atau gerakan sosial baru. Para ahli sosiologi sudah menengarai bahwa gerakan baru ini sungguh baru, khas pada jaman sekarang. Kebaruannya terletak pada kenyataan bahwa gerakan ini tidak beredar di sekitar pabrik dan perusahaan, melainkan meluas ke segala penjuru: ekologi, feminisme, anti-perang, anti rasisme, anti diskriminasi agama, dst. Begitu luas dan begitu beragam gerakan sosial baru ini, dan jelas berskala global.

Lenin memang mengatakan bahwa partai para buruh, yaitu partai komunis, harus menjadi vanguard party, atau partai ujung tombak. Mao Zedong dan banyak pemimpin gerakan komunis juga menyetujui hal ini. Pada masa itu memang baru klas buruh yang muncul dalam kesadaran banyak orang sebagai klas yang paling tertindas. Maklum, kapitalisme juga mencapai puncaknya sekitar akhir abad ke-19 (ketika Karl Marx menulis buku-bukunya). Tidak heran bahwa klas buruh harus menjadi ujung tombak sebuah perjuangan, terutama perjuangan pembebasan dari penindasan kolonialis/kapitalis Barat.

***

Tanpa mengingkari peran historis dari para buruh, gerakan buruh kini perlu mengadakan re-posisi. Di mana sebaiknya buruh memainkan perannya? Bagaimana mereka sebaiknya berjuang di tengah aneka perjuangan yang ada sekarang? Pertama, buruh memang harus tetap memperjuangkan upah yang adil sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal ini tidak boleh ada keragu-raguan apapun karena itu adalah hak yang sah. Dalam praktik banyak sekali perusahaan di Indonesia (juga di negara-negara di Dunia Ketiga lainnya) yang memperlakukan buruh secara tidak manusiawi, termasuk gaji yang tidak adil. Ketika sebuah negara sedang giat mengadakan industrialisasi, negara tersebut cenderung untuk menutup mata terhadap kesengsaraan yang dialami oleh para buruh. Argumen yang diajukan biasanya adalah bahwa negara harus “investor friendly” atau “bersahabat dengan investor.” Tanpa mereka yang membawa modal dan tekonologi tak mungkin sebuah negara mengadakan industrialisasi. Apapun yang diminta oleh investor, termasuk pemberangusan serikat buruh, karenanya, akan diberikan oleh negara.

Kedua, buruh perlu merapatkan barisan dengan gerakan-gerakan sosial lainnya yang “baru.” Gerakan buruh harus bisa melihat bahwa gerakan sosial baru tidak lagi memperjuangkan buruh saja, melainkan “manusia” yang mendiami planet bumi ini, tidak terbatas dalam lingkup negara tertentu, ras tertentu, agama tertentu. Bahkan “manusia” ini bukan yang terisolir dari planet bumi. Manusia (dalam keragamannya) dan bumi menjadi sasaran perjuangan bersama. Dalam arti ini perjuangan klas buruh harus mempunyai perspektif global.

Apa artinya ini secara spesifik? Sebuah buku mencoba untuk merangkum apa yang menjadi keprihatinan global saat ini (lihat tabel 1). Sekaligus juga diperlihatkan sasaran perjuangan bagi semua saja yang memperihatinkan situasi global. Mari kita lihat satu per satu.

Tabel 1 Sepuluh pokok keprihatinan manusia jaman sekarang

  1. New democracy
  2. Subsidiarity
  3. Ecological sustainability
  4. Common heritage
  5. Diversity
  6. Human Rights
  7. Jobs, Livelihood, Employment
  8. Food security and safety
  9. Kesamaan
  10. Precautionary principle

Sumber: John Cavanagh dan Jerry Mander, 2004: 77-104

New democracy merupakan alternatif terhadap demokrasi yang sekarang ada. Demokrasi baru ingin membuat agar rakyat benar-benar berdaulat, dengan membuat pelaku bisnis – domestik maupun internasional – tunduk kepada kontrol rakyat. Bahkan dikatakan bukan hanya pelaku bisnis, juga organisasi internasional seperti IMF dan World Bank tidak boleh dengan seenaknya berunding dengan negara tetapi tidak menghiraukan rakyat.

Masih segaris dengan kedaulatan rakyat, subsidiarity berarti menuntut agar apa yang dapat diputuskan di tingkat bawah, tidak diputuskan di tingkat atas. Saat ini banyak keputusan diambil oleh “pusat” tanpa menghiraukan “daerah” atau “lokal.” Perundingan dengan IMF dan World Bank dilakukan oleh Pemerintah Pusat, tanpa melibatkan rakyat yang akan menanggung kebijakan itu. Apakah sebuah perusahaan akan hengkang dari sebuah daerah, keputusan itu dibuat di markas MNC di Tokyo, London, Frankfurt, Seattle, dsb. Karena warganegara di tingkat lokal yang langsung berurusan dengan kebijakan, maka mereka harus ikut dalam proses pengambilan keputusan. Lewat subsidiaritas diperjuangkan otonomi dan independensi penduduk setempat.

Model ekonomi yang disebut “ekonomi pertumbuhan” mengandaikan sumberdaya alam yang tak terbatas, yang dapat dikeruk dan dikuras sampai tandas. Ternyata asumsi ini meleset jauh. Ekonomi pertumbuhan terbukti mendorong terjadinya penghancuran lingkungan: sungai, gunung, lautan, dan udara. Setelah hancur dan habis, tidak ada kelanjutan (sustainability). Ini terjadi di seluruh dunia, tetapi yang mencemaskan adalah bahwa banyak MNC yang sengaja menanamkan modalnya di negara sedang berkembang karena di negara asalnya ia tidak diijinkan untuk merusak lingkungan. Perjuangan melindungi lingkungan (ekologi) karenanya menjadi keprihatinan besar negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia.

Yang keempat adalah yang disebuat “warisan bersama,” suatu hal yang langsung bertabrakan dengan program privatisasi. Umat manusia memiliki warisan bersama ini berupa (1) air, tanah, udara, hutan, perikanan yang menjadi tumpuan hidup manusia; (2) kebudayaan dan pengetahuan; (3) sumberdaya modern yang berupa pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Bahaya besar yang sedang mengancam sekarang bahwa dalam waktu tidak terlalu lama warganegara harus membayar untuk memakainya semua itu akibat privatisasi yang terus berjalan sekarang. Lagi-lagi MNC paling berani menghamburkan “warisan bersama” ini ketika mereka berada di negara sedang berkembang.

Tentang diversity atau keragaman: sekalipun tidak dirancang demikian, globalisasi ekonomi secara sistematis tidak hanya mengancam warisan bersama umat manusia tetapi juga menghilangkan “keragaman.” Bagi perusahaan multinasional, demi efisiensi harus diciptakan standardisasi global, tetapi mereka menemukan banyak hambatan karena keragaman, entah kultural, ekonomi, maupun biologi. Contoh paling jelas adalah hancurnya banyak komunitas masyarakat adat karena masuknya sebuah MNC. Padahal keragaman merupakan sumber vitalitas dan inovasi dari sebuah sistem yang hidup. Dibandingkan dengan cara-cara modern, masyarakat adat bahkan memiliki kemampuan mengagumkan untuk menghadapi perubahan ekologi. Berjuang mempertahankan keragaman ini menjadi sasaran kelima yang saat ini terasa mendesak.

Hak asasi manusia sudah dikumandangkan sejak 60 tahun yang lalu, dan sudah diperjuangkan oleh banyak orang dan banyak organiasi serta lembaga. Namun, sampai hari ini, pelanggaran hak-hak asasi manusia masih terus berlanjut. Di Indonesia sudah ada Komisi Hak-hak Asasi Manusia, namun orang masih menunggu hasil nyata. Banyak orang kehilangan hak-hak asasi mereka: perumahan, makanan, air bersih, dsb.

Butir yang ketujuh langsung berhubungan dengan kaum buruh, dan hal ini sudah diuraikan di atas. Cukup ditambahkan bahwa perjuangan buruh tetap merupakan perjuangan menonjol di jaman sekarang. Ketika perusahaan multinasional merambah dunia, buruh-buruh di seluruh dunia menemukan betapa pahitnya bekerja dengan mereka. Setiap kali harus diingatkan dan diperjuangkan baik secara halus maupun kasar, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pada jaman sekarang produksi makanan juga mengalami komodifikasi dan privatisasi. Memang produksi makanan meningkat seiring dengan kemajuan teknologi, tetapi hal ini justru tidak mengurangi orang yang menderita kelaparan. Ini ibarat tikus mati di lumbung padi. Hal ini terjadi karena sepak terjang MNC yang sengaja merugikan dan menindas petani. Perjuangan sekarang adalah bagaimana dapat melindungi petani-petani dari terkaman MNC, baik yang bergerak di bidang agribisnis maupun di bidang ekspor-impor pangan.

Kesamaan atau equity adalah topik kesembilan yang nyaris sudah membosankan karena sejak jaman kuno orang berbicara tentang kesamaan. Namun yang terjadi pada saat sekarang adalah untuk pertama kalinya kesamaan dibicarakan dalam kerangka ketimpangan yang terjadi dalam skala global. Begitu banyak orang terpinggirkan dari globalisasi ekonomi, dan begitu sedikitnya orang yang menikmati manfaat dari globalisasi ekonomi. Terjadi jurang menganga lebar yang mengerikan. Memang dikatakan bahwa ini hanya sementara, tetapi “sementara” dalam hitungan berapa tahun atau berapa abad? Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan.

Kerusakan-kerusakan yang menimpa masyarakat maupun lingkungan pada umumnya sudah terlalu parah ketika ditemukan. Sungai yang dicemari bahan kimia beracun dari sebuah perusahaan diminum dan dipakai untuk keperluan lain oleh penduduk selama beberapa tahun. Ketika banyak orang sakit dan mati, baru orang tersadar tetapi terlambat. Peristiwa seperti ini berulang-ulang terjadi dan dapat dikatakan menjadi pola di seluruh dunia karena semua ini berkaitan dengan teknologi. Ketika sejenis tekonologi ditemukan dan dipakai, orang tidak menyadari akibat yang ditimbulkan. Atau, seandainya disadari, perusahaan tidak mau mengumumkan. Precautionary principle mengatakan bahwa masyarakat dapat menuntut agar ada penjelasan atas semua teknologi yang akan atau sedang dipakai. Pertemuan Puncak di Rio pada 1992 telah menggariskan hal ini, demikian pula Uni Eropa pada 2001.

***

Spektrum perjuangan yang sedemikian luas itu memperlihatkan bahwa kita sekarang hidup dalam dunia yang benar-benar telah mengglobal, yang ditandai oleh masalah-masalah dengan skala global pula. Satu isu tidak bisa dipisahkan dari isu lain, bahkan saling kait mengkait. Orang yang memperjuangkan satu isu, niscaya akan tersedot ke isu di sampingnya dan dengan sendirinya dengan isu global. Oleh karenanya visi perjuangan siapapun, termasuk buruh, tidak lagi dapat dibatasi di sebuah wilayah atau negara saja. Meskipun sebuah tindakan harus ditempuh di tingkat lokal (negara, kabupaten, kelurahan, desa), perjuangan tidak boleh kehilangan dimensi global. Artinya, perjuangan di sini dan sekarang, diharapkan mempunyai dampak ke tingkat global. Benar semboyan: Think globally, act locally.

Buruh mudah sekali terjebak dalam “trade-unionism” atau “serikat-buruh-isme” yang hanya memperjuangkan kepentingan sektoral dan lokal (ini sudah menjadi keprihatinan Lenin). Kendati hal ini mungkin cocok untuk masa lampau, pada jaman sekarang hal itu sulit untuk dapat dipertahankan lagi. Buruh harus bahu-membahu dengan rekan-rekan lain dalam memperbaiki dunia seluruhnya, bukan hanya pabriknya. Apa yang menjadi keprihatinan rekan-rekan dalam gerakan lain, layak menjadi keprihatinan buruh juga.

Di Indonesia gerakan sosial baru masih pada tahap kelahiran awal. Meski demikian, nampak bahwa perjuangan mereka akan semakin mendapat sambutan hangat dari masyarakat luas. Tapi, kalau gerakan buruh malah bertabrakan dengan mereka, hal itu akan mengisolir gerakan buruh. Sayang sekali kalau hal ini terjadi.

Bibliografi

Cavanagh, John dan Jerry Mander (eds.), Alternative to Economic Globalization. A Better World is Possible (San Fransico: Berret-Koehler, 2004)

Fakih Mansour, “Social Movement sebagai Alternatif terhadap Civil Society,” dlm. Wacana. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Vol. 3, No. 11 (2002): 15-57.

Forum Pendamping Buruh Nasional, “Buruh dan Bayang-bayang Regim Fleksibilitas,” manuskrip, Desember 2004.

La Botz, Dan Made in Indonesia. Indonesian Workers Since Suharto (Cambridge, MA: Southend Press, 2001)

Munck, Ronaldo Globalisation and Labour. The New ‘Great Transformation’ (Delhi: Madhyam Books, 2002)


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?